Mohon tunggu...
nadalfizahra
nadalfizahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Karena kamu butuh banyak pengetahuan baru untuk dipelajari, jadi mari belajar bersama!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Bawah Guyuran Kaki Bromo

10 Agustus 2022   09:12 Diperbarui: 14 Agustus 2022   20:06 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

        Dingin menusuk permukaan kulit. Hembusan angin melambai-lambai diantara ratusan pohon yang beristirahat. Gugusan bintang tak pudar menghiasi langit malam. Terhitung sudah dua minggu sejak liburan terencana. Sungguh tidak mudah menyatukan isi pikiran 30 kepala untuk mencapai sebuah kesepakatan bersama. Setelah banyaknya drama keberangkatan, hingga perselisihan yang hampir menimbulkan perpecahan, akhirnya hari ini tiba. Hari mengukir kenangan.

        Seorang perempuan menatap berkali-kali ke arah jendela dan jam yang ada dipergelangan tangannya. Dirinya gelisah, hatinya tak tenang, matanya pun enggan terpejam. Senang, ragu, takut, bahagia,  dan segala rasa yang kini melebur menjadi satu. Entahlah, bagaimana harinya akan membawa pada satu titik dimana akan terkenang. Hari menunjukkan pukul 10 malam. Waktu yang dipilih untuk berkumpul di sebuah kafe tak jauh dari alun-alun kota. Senja telah bersiap dengan sweater hitam kesayangannya. Matanya mulai lelah menanti teman yang akan menjemput. Mencoba terpejam berkali-kali, namun hasilnya nihil. Kedua bola matanya masih setia terbuka, meski kantuk tak tertahan. 

Detik berlalu, gawai yang berada di tangannya menampilkan panggilan dari Cyra—teman kuliahnya. Senja mengangkat panggilan tersebut. Belum sempat mengucapkan salam, pekikan khas Cyra membuat telinganya sakit. Segera ia menjauhkan gawai tersebut.

        “Hallooo Senja kesayanganku, turun ya dirimu gais jangan mendekam di balik jeruji jendela” kemudian tawa perlahan terdengar dari Cyra dan disusul temannya yang lain.

        Senja mengehela nafas, membatin bagaimana ia dipertemukan dengan teman se ajaib Cyra. Senja melihat ke bawah dari balik jendela, terlihat Cyra melambai-lambaikan tangan. “Kalo ngomong tu, bisa gak pake bismillah dulu kek. Nyerocos aja. Sek sebentar siap-siap dulu, sabar. Salah sendiri berangkat gak ngabari,” Sifat asli Senja keluar. Menumpahkan segala kekesalan adalah jalan ninjanya. 

        “Hehe mohon maaf ibu negara, sudah begini adanya bentuk, fisik, dan sifat saya. Sudah pemberian dari Yang Maha Kuasa. Harus di syukuri, tidak baik merutuki diri. Belum bisa menjadi ukhti-ukhti. Ya sudah, capek juga ternyata ngomong dengan anda. Ditunggu dibawah. Awas jangan lama-lama. Lama tak tinggal nanti nangis” Tut. Panggilan terputus sepihak  sebelum Senja mengeluarkan kata-kata tak baik. 

Senja menghela nafas berkali-kali. Langkahnya seketika melambat. pikirannya melayang. Membayangkan peristiwa apa yang akan terjadi padanya. Sebenarnya beberapa hari ini kondisi batinnya gundah. Memikirkan apakah keputusannya sudah benar. Meninggalkan saudaranya yang berkunjung seorang sendiri di kamar kos. Sendiri di kota orang bukanlah pilihan yang baik. Untuk membatalkan rencana dengan temannya pun rasanya keterlaluan, memutuskan untuk batal kurang sehari keberangkatan. Terdengar berlebihan memang, tapi memang begitu adanya. Tak terasa kaki miliknya telah sampai di ujung tangga. Meski ragu, tak ada pilihan untuk memilih mundur. Hadapi adalah pilihan terbaik. Teringat seminggu sebelumnya, terjadi perdebatan kecil antara ia, Cyra, dan Maya yang berujung pada diamnya mereka berdua selama sehari menambah beban pikiran Senja. 

***

        Dua hari sebelum keberangkatan, Senja diserang rasa bimbang. Gadis—sepupunya mendadak memberitahu bahwa ia akan berkunjung, tepat satu hari sebelum rencana itu terealisasi. Keberadaan Gadis di kamar kosnya akan membuat Senja bersalah jika ia harus meninggalkannya.

        “Ra, May, kayaknya aku gak bisa ikutan ke Bromo deh” Senja memulai percakapan pertama kali Ketika ia, Cyra, dan Maya berkumpul di kantin fakultas Teknik.

        Cyra langsung menunjukkan wajah protesnya, “Bercandanya gak lucu, Senja.”

        “Eh iya, bukan April Mop lho, Nja. Jangan ngajak perang pagi-pagi bisa ga” Maya ikut menimpali perkataan Cyra sebagai bentuk protes”

        “Tapi aku beneran gak bisa. Maksudku 90% bakal batal. Kalian saja yang berangkat. Aku gak masalah kok,” lanjut Senja.

        Cyra telah mengeluarkan wajah bersiap akan marah, “Kamu yang gak masalah. Tapi aku dan Maya yang masalah. Plis, kita janji bakal ikut bertiga. Salah satu diantara kita gak ikut, ya semua batal. Bahkan grup Rendy pun ikut batal”

        “Tapi masalahnya tuh—” belum sempat senja menyelesaikan perbicaraannya, Crya kembali bersuara.

        “Pilihannya hanya dua, kamu ikut atau kita berenam batal berangakat” Cyra meninggalkan Senja sendiri. Disusul dengan Maya yang perlahan mengejarnya. 

        Senja mengusap wajah. Pikirannya melayang ke berbagai cabang. Tak tau langkah apa yang harus ia pilih.

***

Setelah berbagai drama keberangkatan, akhirnya Senja bisa berangkat. Gadis telah menyanggupi untuk berdiam diri selama ia pergi berlibur bersama teman-temanya. Lagi-lagi dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri. Bagaimana ia tidak mengetahui mana teman laki-laki yang akan bersamanya. Sebuah efek dari tidak mengenal teman kelas sendiri akibat kelas online. Senja masih bertarung dengan pikirannya. Sesekali menimpali candaan Cyra dan Maya, namun menatap tiga teman lelaki yang berada dihadapannya. Senja hanya mengenali Rendy karena merupakan kekasih Cyra. Sisanya, dirinya benar-benar kehabisan petunjuk nama mereka berdua. 

Setelah beberapa saat, Cyra dan Maya telah berboncengan dengan pasangan masing-masing. Senja sejenak menatap seorang di ujung barisan. “Mungkin dia yang dikatakan Cyra, sepertinya memang dia orangnya,” batin Senja.

“Izin naik ya,” Ucapku pada dia--Si Jaket Hitam.

Tak ada jawaban, hanya sebuah anggukan pertanda mengiyakan. Angin malam menusuk permukaan kulit. Membelai halus, menyelimuti tubuh. Tak ada pembicaraan selama perjalanan. Lebih tepatnya belum ada topik yang perlu dibicarakan. Dipertemukan malam, bersama mengitari keindahan bumi. Jalan semakin terjal. Dingin semakin terasa. Kendaraan telah berganti. Sejenak berhenti di pos pertama setelah dua jam perjalanan. Lumayan melelahkan, namun impian dihadapan senantiasa menguatkan. 

“Kamu baik-baik saja? Gak bawa jaket kah? Dingin banget ini” tanyanya beruntut setelah kaki ini berpijak pada tanah. 

Sejujurnya, saat ini Senja mulai kedinginan. Hawa daerah pengunungan mulai terasa mencekam. Meski masih bisa sedikit tertoleransi. Satu kesalahan Senja dalam perjalanan kali ini, lupa membawa jaket. Uji nyali memang, pergi ke gunung tanpa membawa jaket. “Agak mulai kerasa dinginnya si, tapia man kok snatai” jawab Senja.

“Eh iya, aku ke temenku dulu ya. Istirahat sebentar, hehe. Kamu istrahat juga,” lanjut Senja

Dirinya mengangguk, “Oke siap. Aku tunggu di sini ya nanti.”

Senja berjalan menuju Cyra dan Maya. Kedua sahabatnya telah berkumpul, bergosip lebih tepatnya. Entah topik apa yang menyebabkan keduanya tertawa terbahak-bahak. Senja mengoleskan minyak kayu putih pada telapak tangannya. Mencoba mencari kehangatan meski rasanya minyak kayu putih tersebut tak berfungsi untuk suasana dingin seperti ini. 

“Jadi, Nja. Gimana rasanya jalan sama doi” Maya tertawa geli.

“Heh, doi apaan astagfirullah. Kenal juga masih hitungan jam. Jangan ngelantur tolong,” seru Senja sebal.

Cyra tertawa puas melihat wajah Senja yang sudah dipastikan geram. “Aku merestuimu kok sama dia. Ganteng kok temen Rendy yang satu itu. Lumayan kan geng kita pasangannya sama geng mereka. Kalo mau jalan bareng dirimu sudah tidak jomblo lagi, ya gak sis” sambil mencolek dagu Senja.

“Nah. Aku setuju juga si, Nja. Ganteng kok doi, bisa di bawa ke kondangan,” timpal Maya.  Senja malas menanggapi, meskipun sedikit terbesit dalam pikirannya membenarkan ucapan sahabatnya. “Iya deh, terserah kalian. Berasa daku hidup dibawah harapan kalian aja.”

Waktu istirahat selesai. Rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju puncak. Senja kembali menaiki kendaraan yang sama dengan partnernya. Suasana diantara keduanya mulai mencair. Beberapa pertanyaan telah menguasai perjalanan hingga kecanggungan diantara keduanya perlahan terkikis. Nyaman. Satu kata yang menggambarkan suasana saat ini. Gerimis hujan tak ingin melewatkan menemani perjalanan mereka. Jalan semakin curam dan licin. Tak ada jalan mulus yang membentang. Hanya tanah dan batuan yang nyata.

“Nja, ada yang sakit? Ada yang luka kah?” Tanyanya penuh ke khawatiran. 

Senja  yang terjatuh akhirnya menerima uluran tangan membantunya untuk berdiri. Senja terjatuh akibat ketidakseimbangannya. Untung tidak ada kotor yang terlalu parah pada pakaiannya. “Aku baik-baik aja kok. Makasi ya,” jawab Senja sambil tersenyum. Ada desiran hebat kala kalimat itu dilontarkan. Ada rasa hangat menggenggam rasa. Meski pertanyaan sederhana, biasa, dan tak mengandung unsur berlebih. Nyatanya, kesederhanaan yang menciptakan kebahagiaan tersendiri. 

Setelah melewati berbagai drama, akhirnya puncak Gunung Bromo menjadi nyata. Bukan sekadar harapan belaka. Perjalanan singkat penuh makna. Mengajarkan arti kebersamaan, kehangatan, menurunkan ego, mencoba berdamai dengan kenyataan, dan berbagai perjanalan yang akan terkenang di hari kemudian. Singkat. Tepi penuh makna. Rasa yang mulai menjalar namun tak memiliki arah  yang sama. Mungkin tidak untuk saat ini. Tapi, tak ada yang tau kemungkinan-kemungkinan semesta selanjutnya.

Senja menutup hari dengan senyum mengembang. Menatap langit-langit kamar yang menjadi saksi pertama rasa padanya perlahan tumbuh. Semoga kesempatan itu masih ada.

Teruntuk kamu,

Lelaki jaket hitam

        Dua lembar kertas putih ini adalah ungkapan rasa yang tak sampai pada pemiliknya. Kenang telah terlewati. Bayang senantiasa mengitari. Rasa yang hanya sebatas ilusi. Sedang apa kamu disana? Apakah sedang menatap rembulan seperti yang aku lakukan saat ini? Jika memang iya, bolehkah aku berharap harimu secerah sinar yang menghiasi diantara gugusan bintang di langit malam?

        Si jaket hitam. Lelaki pertama yang membawaku pergi bersama. Lelaki yang tak pernah ku kenal secara personal, hanya sebatas mengetahui Namanya saja. Permainan takdir yang mengantarkan ku pada sebuah jebakan semesta untuk mengenalmu secara tidak sengaja. Meski tak banyak yang aku tau tentang kehidupan yang sedang kamu jalani. Tapi bolehkah aku berharap ada suatu hari dimana lisanmu akan dengan senantiasa berbagi kisah indah itu? 

        Si jaket hitam. Kenangan di bawah guyuran kaki bromo adalah selembar jejak dalam kenangan yang tak akan terlupa. Menerobos pekatnya malam, meringkuk di balik kain melawan angin, berlindung di bawah rintik hujan, hingga menggenggam medan berat untuk sampai pada tujuan. Love language kita yang membuatku jatuh pada pesonamu. Bolehkah aku berharap bahwa kamu adalah 0,1% lelaki langka di zaman ini?

        Si jaket hitam. Mungkin rasa menyukai belum sepenuhnya pantas untuk menggema. Rasa itu ada. Perasaan itu nyata. Tapi, apakah ia hanya semu atau sebatas tamu yang datang lalu Kembali pulang? Waktu dengan pasti penggenggam jawaban terbaik. 

        Si jaket hitam. Terima kasih telah mau mengukir sejarah di kaki bromo bersama. Meski taka da rasa yang tertaut, meski pertemanan masih menjadi budak diantara kita, meski senyum simpul manis itu masih menjadi milik bersama, rasanya cukup bagiku untuk mengenang serpihan kebersamaan ini. 

        Sekian kisah ini, Terima kasih. 

Dari aku,

Partner Bromo Mu 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun