Mohon tunggu...
Nabil Huda Rizalul Haq
Nabil Huda Rizalul Haq Mohon Tunggu... Mahasiswa

Penulis lepas dan penggiat teknologi. Lulusan Sistem Informasi yang aktif membahas isu seputar teknologi, pendidikan, kewirausahaan digital, dan pengembangan diri. Pernah terlibat dalam berbagai proyek aplikasi digital, serta aktif menulis opini dan artikel di bidang sosial, ekonomi, dan keislaman. Bergiat di HMI dan memiliki ketertarikan terhadap transformasi digital serta peran pemuda dalam pembangunan bangsa.

Selanjutnya

Tutup

Surabaya

Perubahan Sosial di Era Digital

8 Juni 2025   17:13 Diperbarui: 8 Juni 2025   17:13 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia Vs Mesin: Menimbang Arah Perubahan Sosial di Era Digital

Oleh: Nabil Huda Rizalul Haq

Di tengah gemuruh kemajuan teknologi, kita menyaksikan satu fenomena yang lebih dari sekadar perubahan perangkat atau inovasi digital---kita menyaksikan pergeseran sosial secara fundamental. Teknologi bukan hanya mengubah cara kita bekerja, berkomunikasi, dan belajar. Ia juga membentuk ulang nilai, relasi, dan struktur sosial masyarakat.
Teknologi telah menjadi aktor utama dalam pertunjukan sosial masa kini. Ia hadir di ruang-ruang privat hingga publik, dari gawai di saku hingga kebijakan negara. Di balik segala kemudahannya, ada satu pertanyaan besar yang perlu kita ajukan: apakah manusia masih menjadi pusat, atau justru hanya menjadi penonton dari perubahan besar ini?
 
Digitalisasi dan Pergeseran Pola Sosial
Jika dulu interaksi sosial erat bergantung pada ruang fisik, kini batas itu telah memudar. Platform digital seperti WhatsApp, Instagram, dan TikTok mengubah cara generasi muda membentuk identitas, memperluas jaringan, bahkan mengorganisir gerakan sosial.
Namun kemudahan itu membawa dampak. Kian banyak relasi yang bersifat transaksional dan superfisial. Di dunia nyata, ruang-ruang publik seperti taman kota, perpustakaan, dan balai desa semakin sepi. Di dunia maya, semua berlomba menciptakan citra diri yang sempurna.
Kita mulai beralih dari masyarakat komunal menuju masyarakat algoritmik---di mana preferensi kita dibentuk oleh pola klik, bukan dialog bermakna.
 
Disrupsi Dunia Kerja dan Identitas Sosial
Perkembangan teknologi, terutama otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI), mengubah lanskap pekerjaan secara drastis. Banyak profesi mulai tergantikan, sementara jenis pekerjaan baru menuntut keterampilan yang sama sekali berbeda. Hal ini menciptakan fenomena baru: alienasi sosial dan identitas yang goyah.
Seseorang yang dahulu dihormati karena profesinya, kini bisa merasa kehilangan makna ketika posisinya digantikan oleh sistem. Ini bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan juga psikologis dan kultural. Teknologi, dalam hal ini, tidak hanya menciptakan efisiensi tetapi juga menciptakan kesenjangan sosial baru.
 
Masyarakat yang Tertinggal dan Ketimpangan Akses
Dalam euforia kemajuan digital, kita sering lupa bahwa tidak semua orang memiliki akses yang sama. Digital dividenyata adanya. Di pelosok negeri, masih banyak masyarakat yang kesulitan mengakses internet, apalagi memahami teknologi terbaru.
Ketimpangan ini memperparah jurang sosial. Mereka yang terkoneksi, mendapatkan informasi lebih cepat, akses ekonomi lebih luas, dan pendidikan lebih baik. Sedangkan mereka yang tidak, tertinggal dan kian terpinggirkan.
Apakah kita rela membiarkan teknologi menjadi alat eksklusif segelintir orang? Ataukah kita akan memperjuangkan teknologi sebagai hak publik?
 
Budaya, Etika, dan Kemanusiaan dalam Tekanan
Ketika teknologi membentuk budaya, muncul kekhawatiran akan hilangnya akar tradisi dan nilai lokal. Konten viral lebih cepat menyebar daripada petuah leluhur. Budaya instan menggeser budaya kerja keras. Privasi dikorbankan demi eksistensi. Kebenaran ditawar dalam pasar opini yang dikendalikan algoritma.
Kita hidup di zaman di mana moralitas diuji oleh kecepatan, dan di mana etika menjadi barang mewah yang seringkali dikalahkan oleh logika keuntungan digital.
 
Solusi: Masyarakat Adaptif, Negara Responsif
Perubahan sosial akibat teknologi bukanlah hal yang bisa dihentikan. Namun kita bisa mengatur arahnya. Dibutuhkan masyarakat yang adaptif dan kritis, serta negara yang responsif dan visioner.
Pendidikan digital bukan sekadar mengajarkan cara memakai teknologi, tapi menanamkan kesadaran akan dampaknya. Kebijakan publik harus berpihak pada keterbukaan akses, penguatan literasi digital, dan perlindungan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap aspek inovasi.
Teknologi harus dilihat sebagai alat, bukan tujuan. Dan manusia, dengan segala kompleksitasnya, harus tetap menjadi poros dari perubahan apa pun.
 
Penutup: Saatnya Menjadi Subjek, Bukan Objek Perubahan
Di era yang semakin canggih ini, kita dihadapkan pada pilihan: ikut berubah atau tertinggal. Tapi lebih dari itu, kita harus memastikan bahwa dalam setiap perubahan, kitalah yang mengendalikan arah dan nilainya. Bukan teknologi yang membentuk manusia, melainkan manusia yang membentuk teknologi---dengan nurani, budaya, dan tanggung jawab sosial.
Perubahan sosial akibat teknologi tak terhindarkan. Tapi masa depan sosial bangsa ada di tangan mereka yang tak hanya mengikuti arus, tapi juga mampu mengarahkan gelombangnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun