Pernahkah terbayang kalau tempat kerja itu sebenarnya mirip rumah tangga besar? Ada ayah (pengusaha) yang mikirin biaya hidup, ada anak (pekerja) yang butuh hak dan perhatian, lalu ada tetangga yang suka ikut campur tapi dengan maksud baik (pemerintah). Itulah gambaran sederhana hubungan industrial : interaksi antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah untuk menjaga agar roda organisasi tetap berjalan, tapi tanpa ada pihak yang merasa terzalimi.Â
Secara teori, hubungan industrial itu idealnya menciptakan harmoni. Tapi, seperti rumah tangga, nggak semua berjalan mulus. Kadang ada miskomunikasi, kadang ada beda kepentingan, bahkan tak jarang muncul konflik yang bisa bikin suasana panas.
Nah, para ahli kemudian mencoba menjelaskan hubungan industrial lewat tiga perspektif.
- Unitaris : menganggap organisasi itu satu tim dengan tujuan sama. Konflik? Ah, itu cuma salah paham kecil.
- Pluralis: lebih realistis. Namanya juga banyak orang, wajar kalau ada perbedaan kepentingan. Konflik ya biasa, tinggal diselesaikan lewat negosiasi dan kompromi.
- Radikal: ini yang paling keras. Menurut mereka, konflik itu pasti ada karena sistem kerja kita memang timpang : Â pemilik modal selalu punya kuasa lebih besar dari pekerja. Kalau mau adil, ya harus ada perubahan besar-besaran.
Kasus Freeport : Â Sengketa Kontrak dan PHK Ribuan Pekerja
Kalau teori tadi dibawa ke dunia nyata, kita bisa lihat kasus PT Freeport Indonesia tahun 2017. Ribuan pekerja diputus hubungan kerjanya setelah melakukan aksi mogok panjang. Akar masalahnya adalah status kerja yang diperdebatkan: banyak karyawan yang sudah lama bekerja justru diberlakukan sebagai kontrak atau outsourcing, bukan pekerja tetap.
Kalau merujuk pada UU No. 13 Tahun 2003, ada beberapa pasal yang relevan :Â
1. Pasal 59 menegaskan kontrak kerja (PKWT) hanya boleh untuk pekerjaan yang sifatnya sementara, bukan permanen.
2. Pasal 151 menyebut PHK seharusnya diusahakan untuk dihindari.
3. Pasal 156 mewajibkan perusahaan memberi pesangon dan hak lain kalau PHK memang tidak bisa dihindari.
Di sisi pekerja, PHK massal ini dianggap pelanggaran hak dan diskriminasi. Di sisi perusahaan, Freeport beralasan langkah tersebut perlu untuk efisiensi dan keberlangsungan operasi. Pemerintah pun mau tidak mau turun tangan sebagai mediator, karena kasus ini berdampak besar di Papua dan menimbulkan gejolak sosial.