Mentari pagi yang hangat tak mampu menembus kesuraman hati Citra. Bibirnya yang
biasanya melengkung membentuk senyuman kini terkatup rapat, seolah membekukan
perasaan bahagianya. Di tangannya, tergenggam erat amplop berwarna biru laut. Amplop
yang seharusnya membawa kabar gembira itu kini terasa bagai beban berat yang
menghancurkan semangatnya. Di dalam amplop itu terdapat undangan pernikahannya dengan
Doni, pria yang telah lama ia cintai sejak masa sekolah menengah atas. Namun, sebuah
rahasia besar menghantui hatinya. Ia mencintai Danu, sahabatnya sendiri, dengan sepenuh
hati. Cinta terlarang ini semakin membara dan membuatnya semakin tertekan. Arini
menghela napas panjang, pandangannya tertuju pada deburan ombak di Pantai Parangtritis.
Laut selalu menjadi tempatnya mencurahkan segala kegundahan hati, dan hari ini pun ia
kembali mencari kedamaian di sana.
"Citra," sapa Danu dengan suara berat, mengejutkan Citra yang sedang larut dalam
pikirannya. Lelaki itu berdiri di belakangnya, wajah tampan dan tatapan mata yang teduh
selalu berhasil membuat hati Arini berdebar kencang. Citra hanya mengangguk pelan,
menghindari tatapan mata Danu.
"Kamu kenapa? Aku lihat wajahmu murung," lanjut Danu, duduk di samping Citra. Citra
menggigit bibir bawahnya, ragu untuk bercerita. Ia tahu, mengungkapkan perasaannya
kepada Danu akan memperumit segalanya. Doni sudah melamarnya, pernikahan sudah di
depan mata, dan Danu... ia hanya sahabatnya.
"Tidak apa-apa, Danu. Hanya sedikit lelah," jawab Citra, mencoba menyembunyikan
kegundahannya.
Jangan berbohong, Citra. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Ceritalah padaku,"
nada bicara Danu melembut, menyentuh hati Citra lebih dalam. Ia tidak bisa lagi menahan
perasaannya.
"Sebenarnya... sebenarnya aku..." Citra menelan ludahnya, mencoba mencari kata yang tepat.
"Aku sayang, Danu. Sudah lama sekali, sejak kita masih SMA," ucap Citra, matanya mulai
berkaca-kaca.
Hening. Danu mengulanginya, menunjukkan ekspresi yang luar biasa. Ia tidak menyangka,
sahabatnya selama ini menyimpan perasaan yang begitu besar padanya.
"Citra... aku..." Danu terlihat kesulitan menyusun kata. "Aku sangat menghargai persahabatan
kita. Tapi... aku tidak bisa membalas perasaanmu," lanjutnya, dengan nada menyesal.
"Aku tahu, Danu. Aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri," jawab Citra, air mata mulai
menetes.
“Tapi, Citra, kamu akan menikah dengan Doni. Apa yang akan terjadi dengan hubunganmu
dengannya?” tanya Danu.
"Itu yang membuatku bingung, Danu. Aku tidak tahu harus bagaimana caranya," jawab Citra,
semakin terisak.
Di saat yang sama, Doni tiba di pantai. Ia melihat Citra dan Danu duduk berdua, dan suasana
tegang yang membuat mereka khawatir. Doni mendekati mereka dengan wajah bingung.
"Ada apa ini? Kenapa kalian berdua terlihat sangat serius?" tanya Doni, dengan nada
penasaran.
Citra dan Danu saling bertukar pandang, tidak tahu harus menjawab apa. Konflik semakin
memanas, cinta segitiga yang rumit ini telah mencapai puncaknya.
"Doni, aku harus mengatakan yang sebenarnya," Citra menarik napas dalam, bertekad untuk
jujur. "Aku... aku tidak bisa menikah denganmu."
Doni terkejut, matanya membulat. "Apa maksudmu, Citra? Apa yang terjadi?"
Citra menunduk, tidak berani menatap Doni. "Aku mencintai Danu, Doni. Sejak lama.
Maafkan aku," ucapnya lirih.
Doni mencerna, mencerna setiap kata yang diucapkan Citra. Ia merasa sangat terpukul. Cinta
yang ia kira akan abadi, ternyata hanya mimpi belaka. Ia menatap Danu, dengan penuh
kekecewaan.
"Danu, kenapa kamu tidak pernah mengatakan apa pun padaku? Kamu juga mencintai Citra?"
tanya Doni, dengan nada terluka.
Danu menunduk, merasa bersalah. "Aku tidak pernah mengatakan apa pun, Doni. Aku hanya
menghargai persahabatan kita. Perasaan Citra padaku adalah sesuatu yang di luar kendaliku,"
jawab Danu, mencoba memberikan penjelasan.
“Citra, aku sangat menyayanginya. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja,” kata
Doni, dengan nada putus asa.
"Doni, aku minta maaf. Aku tidak bisa memaksakan perasaanku. Aku tidak bisa menikah
denganmu jika aku tidak mencintai," jawab Citra, dengan suara bergetar.
Memperbaiki kembali kesalahan mereka. Doni menghela napas panjang, mencoba
menenangkan jantung yang kalut. Ia tahu, ia tidak bisa memaksa Citra untuk mencintainya.
"Baiklah, Citra. Jika itu yang terbaik untukmu, aku akan melepaskanmu," kata Doni dengan
nada berat. "Tapi, bisakah kita tetap berteman?"
Citra mengangguk, air matanya kembali menetes. "Tentu saja, Doni. Kita akan tetap
berteman," jawab Citra, dengan nada menyesal.
Danu menatap Citra, merasa bersalah. Ia tahu, ia telah menjadi penyebab kesedihan
sahabatnya.
"Citra, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud dan Doni seperti ini," kata Danu.
"Tidak apa-apa, Danu. Ini bukan salahmu. Ini salahku karena aku tidak bisa mengendalikan
perasaanku," jawab Citra
Doni, aku juga minta maaf," lanjut Danu. "Aku tidak pernah ingin menyakiti hati kalian."
Doni tersenyum pahit. "Sudahlah, Danu. Ini bukan salah siapa pun. Mungkin ini memang
sudah takdir," jawab Doni, dengan nada pasrah.
Setelah percakapan panjang dan penuh emosi itu, ketiganya akhirnya sepakat untuk
menerima kenyataan. Doni merelakan kepergian Citra dan memberikannya kebebasan.
Sementara itu, Citra berusaha menenangkan perasaannya yang masih terombang-ambing
karena Danu. Mereka bertiga sepakat untuk tetap menjalin persahabatan, meskipun luka di
hati masing-masing belum sepenuhnya sembuh. Akhirnya, Citra memutuskan untuk
menyudahi hubungannya dengan Danu dan memilih untuk menyendiri sejenak.
Beberapa bulan berlalu, persahabatan antara Doni dan Danu tetap terjalin erat. Hari-hari
mereka kembali dipenuhi tawa dan canda, meskipun luka lama masih tersimpan di lubuk hati
masing-masing. Citra pun mulai fokus pada kariernya. Suatu sore, Danu mengajak Arini
untuk bertemu di pantai tempat mereka pertama kali saling mengungkapkan perasaan.
"Citra, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," kata Danu, dengan nada serius.
Citra menatap Danu, dengan jantung berdebar kencang. Apakah Danu akan mengatakan
perasaannya padanya?
"Aku tahu, waktu itu aku mengatakan bahwa aku tidak bisa membalas perasaanmu. Tapi,
setelah semua yang terjadi, aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku juga mencintaimu,
Citra," lanjut Danu, dengan wajah yang memerah.
Citra terkejut, hatinya terasa melayang. Ia tidak menyangka, pengakuan cinta Danu akan
datang juga. Air matanya menetes, bukan karena sedih, melainkan karena bahagia.
"Danu... aku..." Citra mencoba menyusun kata.
"Aku tahu, mungkin ini sudah terlambat. Tapi, aku harus jujur pada diriku sendiri. Aku
sayang, Citra. Apakah kamu mau menerima cintaku?" tanya Danu, dengan penuh harap.
Sebelum Citra sempat menjawab, Doni tiba-tiba datang menghampiri mereka dengan wajah
berseri-seri. "Maaf mengganggu kalian berdua," ujarnya, "tapi aku ingin menyampaikan
kabar gembira. Aku akan segera menikah. Dan tahukah kalian siapa calon istriku?" Doni
menghela napas sejenak, menciptakan rasa penasaran yang semakin mendalam pada diri Citra
dan Danu. "Dia adalah... ibumu, Danu!"
Citra dan Danu tertawa kecil, tak percaya dengan pernyataan Doni barusan. Keduanya saling
berpandangan, wajah mereka memperlihatkan kebingungan yang sama.
Ibu. Ibumu? tanya Danu, dengan nada terbata-bata.
Doni tertawa puas melihat ekspresi terkejut mereka. "Ya, ibuku. Aku baru tahu kalau dia
adalah ibu Danu setelah mencari tahu lebih lanjut tentang masa lalunya. Ternyata, ibu Danu
dan ayahku adalah cinta pertama masing-masing. Mereka terpisah karena keadaan, dan
setelah lama mencari, akhirnya kami bertemu lagi. Ini sudah digariskan takdir, Citra. Kamu
dan Danu memang ditakdirkan untuk bersama, sementara aku ditakdirkan untuk menjadi
anak tiri Danu, haha."
Citra dan Danu menoleh ke belakang, tak percaya dengan apa yang terjadi. Mereka tak
pernah menyangka bahwa hidup akan membawa mereka pada titik ini. Rupanya, laut telah
menjadi saksi bisu atas segala rahasia hati mereka, dan takdir telah mempertemukan mereka
kembali dengan cara yang tak terduga. Kisah cinta yang rumit ini akhirnya menemukan
penyelesaian yang tak terbayangkan. Citra dan Danu bersatu, tanpa harus menyakiti siapa
pun. Sementara itu, Doni menemukan kebahagiaannya dengan cara yang tak pernah ia sangka
sebelumnya. Pantai Parangtritis, yang pernah menjadi saksi kegelisahan mereka, kini menjadi
saksi kebahagiaan yang mereka raih bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI