Mohon tunggu...
Nabilalr
Nabilalr Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Pembelajar Omnivora. Menulis sebagai tanda pernah 'ada', pernah 'merasa', dan pernah disebuah 'titik'.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Satu Panggilan Keluar yang Mendobrak Dinding Terakhir

7 Mei 2019   11:28 Diperbarui: 7 Mei 2019   21:23 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hallo,"
"Lagi di mana dear?" Sapa seorang laki-laki melalui sambungan telepon.

"Heii, baru keluar Kantor. Gimana?" Jawab si perempuan sambil mengamit gawainya antara telinga dengan pundak. Ia tergesa dengan beberapa berkas yang memenuhi tangannya.

"Ngga lagi ganggu kamu kan?"

"Enggak. Santai kok. Ada apa? Kangen aku ya?" Goda si perempuan. Lalu terduduk pada lobby kantornya sebelum berangkat meeting setelah jam makan siang.

"Ah, GR kamu. Telepon doang." Jawab si laki-laki, dengan senyuman yang bertengger rapi. Usai meeting yang melelahkan dan membosankan sejak pagi, ia butuh mendengar ocehan dan tawa seseorang.

"Habis, tumben telpon jam makan siang gini. Kalau ngga kangen terus apa coba?"

"Iya iya. Aku kangen. Kangen sekali." Aku si laki-laki.

"Nah gitu dong. Ngaku aja. Rasa kangen ngga usah di pendem pendem." Si perempuan menjawab santai. Lalu disusul dengan tawa. Pembicaraan mereka pun mengalir hingga 30 menit kemudian.

"So, sejak kapan kamu ngerasa aku berubah?" Tanya seorang perempuan pada sebuah janji makan malam.

"Jadi wonder woman?"

"Seriusan ih."

"Iya iya. Sabar dong." Si laki-laki menjawab santai. Lalu membasahi tenggorokannya dengan mojito sebelum melanjutkan berbicara.

"Sejak kamu telpon aku. Waktu kamu di Jogja." Si laki-laki menjawab. Mantap.

"Seriously? Yang aku lagi makan mi ayam itu? Dua minggu lalu?" Timpal si perempuan. Terkejut.

"Iya."

"Ada apa dengan telepon itu? Aku cuma telpon kamu kayak biasanya." Tukas si perempuan menuntut penjelasan lebih.

"Aku ngerasanya ngga gitu. Kita udah lama, dan baru sekali itu kamu telpon. Aku langsung berpikir pasti ada yang penting." Si laki-laki ini tenang menjelaskan. Menepikan rice bowl dan mojitonya sejenak demi sebuah penjelasan.

"Aslinya ngga penting kan. Zonk deh. Hahaha" si perempuan melepas tawa. Menyembunyikan rona wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Enggak. Aku seneng kok. Jadi gini ya rasanya dikangenin dan dibutuhin. Hahaha" Giliran si laki-laki yang melepas tawa.

"Hih GR. Aku kan udah bilang. Semua pada masuk wahana. Aku ngga ikut, terus cari mi ayam di kaki lima. Terus telpon kamu."

"Karena kamu kangen, sendirian dan perlu teman mengobrol kan? Beneran. Kamu lepas banget waktu itu. Ngga ada beban. Beda sekali." Jawab laki-laki itu, lalu menatap sepang mata berwarna hazel milik si perempuan lekat lekat. Mengingat kembali ocehan dan tawa yang lepas saat perempuannya sedang bercerita lewat sambungan telepon.

Sedangkan yang di tatap justru mengalihkan pandangannya. Mencoba mengusir debaran dengan menyesap orange squash yang sudah lima menit didiamkan. Ia mengingat kembali, tentang 'kenekatannya' sore itu hingga memutuskan untuk menelepon lelakinya. Ia sendiri heran, bagaimana bisa ia begitu terbuka pada obrolan 20 menit itu? Bercerita, tertawa, dan sedikit merajuk.

"Tapi aku jadi ganggu kamu. Kan lagi meet up sama teman teman."

"Sama sekali enggak. Aku angkat telepon kamu dibawah pohon loh. Terima kasih ya udah telepon." Jawab si laki-laki sungguh sungguh. Ia begitu terbuka pada perempuannya. Yang terkadang hanya dijawab dengan gelengan kepala, atau sebuah senyuman saja.

"Sama-sama. Makasih udah diangkat." Kali ini si perempuan tersenyum. Menampilkan usaha bahwa ia menghargai laki-laki didepannya.

Pernyataan itu pun hanya dijawab si laki-laki dengan anggukan kepala. Masih dengan tatapan yang sama. Hati laki-laki itu lega. Perempuannya yang selama ini dingin, bertahan, dan rentan pelan pelan mulai mampu membuka hati untuknya. Mempercayakannya sebagai sandaran dalam segala kondisi.

Sedangkan si perempuan hanya mampu tersenyum menatap sepasang mata berwarna madu itu. Mencari kebenaran dari apa yang mampu ia tangkap dari segala laku yang telah dilakukan laki-laki itu padanya. Untuk menepikan rasa takut, dan menciptakan rasa aman.

"Makan dear, nasinya. Habisin ya. Cepet." Sedetik kemudian, laki-laki itu pun menggeser rice bowl yang sedari tadi didiamkannya. Satu untuknya, satu untuk perempuannya.

"Iya, iya."
"Kalau ngga habis, nanti aku yang habisin."

Sebuah senyuman. Hati perempuan itu pelan-pelan mulai mencair.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun