Langit Kota tampak berbeda, penuh dengan asap yang membuat pedih mata. Beberapa remaja bergegas berjalan cepat. "Kak, cepat ke tempat aman" Ujar mereka setengah berteriak.Â
Naira, berusaha mencerna kata-kata tersebut sambil berupaya mempercepat langkah kaki menuju halte bus. Terlihat antrian mengular, jalanan macet.
Suara sirine ambulan nyaring, penuh pilu. "Duh ngeri banget terulang" Ujar seorang Ibu. Naira paham apa yang di maksud si Ibu. Walau pada momen tahun sekian, Naira belum lahir. Berkat sering membaca buku, ia tau apa yang ditakutkan si Ibu.Â
Petugas bus tetap ramah menyapa para penumpang dan mengingatkan "hati-hati barang bawaannya, hp dan dompet jangan sampai hilang. Hp dipegang saja ya" Ujar petugas dengan nada tenang.Â
Satu sisi Naira kelimpungan dengan rasa khawatir yang memenuhi pikiran. Sisi lain Naira melihat bahwa orang-orang ini adalah pejuang kehidupan yang tetap profesional.Â
Naira ingat dengan adiknya, Deri. Lalu ia menanyakan situasi di Kota sebelah "aman, di sini cuma hujan saja. Hati-hati, kak" Chat dari sang adik. Sedikit membuat Naira agak tenang.Â
Naira menanyakan beberapa sahabat dan temannya yang bekerja di Kota yang sama. Memastikan mereka semua aman. Syukurlah aman dan sedang berjuang bersabar dengan kemacetan Kota.Â
Bulan ini, adalah bulan perayaan. Namun sayang, hampir setiap hari isi berita bikin emosi meningkat. Banyak hal di luar nalar terjadi. Sebagai manusia biasa yang kesal pada ketidakadilan.Â
Ia sepakat bila jajaran mahasiswa turun menyuarakan penuntutan keadilan dari rakyat untuk rakyat. Bahkan jika ia bisa izin dari pekerjaan, pasti ia lakukan. Sayangnya tugas dan tanggung jawabnya sedang tak mungkin ditinggalkan. Ada banyak yang harus dijalankan.
Perjalanan pulang kali ini terasa jauh lebih lama dan menguras emosi. Sepanjang jalan ia membayangkan bagaimana situasi oranga-orang yang sedang berjuang di jalanan.Â