Hukum di Indonesia seharusnya menjadi pilar keadilan dan pelindung bagi setiap warga negara. Idealnya, ia berdiri tegak, tak pandang bulu, dan menjadi benteng bagi hak-hak individu, terutama bagi mereka yang rentan dan tidak memiliki akses atau kekuasaan. Namun, realitas penegakannya seringkali menunjukkan bias dan inkonsistensi yang merugikan, terutama bagi masyarakat biasa.
Mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. Ia divonis hukuman penjara dalam kasus dugaan korupsi kegiatan impor gula di Kementerian Perdagangan RI. "Hukuman empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp 750 juta subsider enam bulan kurungan atas dugaan korupsi impor gula," dilansir dari DetikNews.
Poin krusial yang mengundang perdebatan adalah logika majelis hakim yang menganggap keuntungan swasta sebagai kerugian negara. Jika keuntungan swasta dari kerja sama semacam ini secara otomatis dianggap sebagai kerugian negara, maka hampir semua proyek kerja sama publik-swasta berpotensi dikriminalisasi. Kita bisa membayangkan implikasinya pada proyek-proyek besar yang menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi, seperti pembangunan jalan tol, pelabuhan, atau bahkan proyek kereta cepat yang melibatkan investasi swasta dalam jumlah masif.
Jika keuntungan swasta diartikan sebagai kerugian negara, logika hukum semacam ini menciptakan ketakutan di kalangan pejabat untuk membuat keputusan strategis yang melibatkan pihak swasta. Mereka akan cenderung menghindari risiko, bahkan jika keputusan tersebut sebenarnya bermanfaat bagi negara dan masyarakat. Akibatnya, investasi bisa terhambat, dan pertumbuhan ekonomi terancam. Ketika pejabat merasa terancam oleh interpretasi hukum yang ambigu, mereka cenderung bermain aman, yang pada akhirnya merugikan kepentingan publik yang lebih luas.
Lebih lanjut kasus Tom Lembong secara gamblang menunjukkan bagaimana interpretasi hukum bisa menjadi bias dan digunakan untuk kepentingan tertentu. Tak hanya itu, masyarakat biasa yang terlibat dalam usaha kecil atau kemitraan dengan entitas publik juga berisiko tinggi menghadapi kriminalisasi atas dasar interpretasi hukum yang ambigu.
Bagi masyarakat biasa, menghadapi sistem hukum yang kompleks dan seringkali tidak transparan adalah tantangan besar yang penuh dengan ketidakpastian. Mereka tidak memiliki sumber daya atau akses seperti segelintir orang yang mungkin menganggap ketidakpastian hukum di Indonesia sebagai hal biasa. Ketika hukum terasa tidak adil dan hanya melayani kepentingan tertentu, kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan akan terkikis secara fundamental.
Logika hukum yang tidak konsisten ini bisa merembet ke berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahkan hingga menyentuh hak-hak sipil. Interpretasi sewenang-wenang bisa merugikan pihak yang lemah, menjadikan mereka korban dari sistem yang seharusnya melindungi. Keadilan akan menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang dengan kepentingan tertentu, bukan oleh setiap warga negara. Ini adalah situasi yang tidak dapat ditoleransi dalam negara hukum yang demokratis.
Vonis Tom Lembong adalah contoh nyata bagaimana penegakan hukum di Indonesia dapat terdistorsi, mengabaikan logika yang sehat, dan pada akhirnya merugikan bukan hanya pejabat, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Jika hukum tidak ditegakkan dengan objektif, adil, dan berdasarkan akal sehat, keadilan akan menjadi ilusi.
Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat menjadi pihak yang mendidik publik untuk berpikir kritis sejak awal mengenai putusan-putusan hukum. Kita harus memastikan sistem hukum mampu menelaah persoalan hukum dengan jernih, dan memperjuangkan keadilan yang sejati bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI