Masuk ke dalam filmnya, film Home Sweet Loan dan Novelnya sangat ramai diperbincangkan dikarenakan tema ceritanya yang sangat relatable bagi banyak orang. Terlebih untuk pekerja muda yang merasakan menjadi tulang punggung keluarga lalu tak dihargai usahanya.
Kisah berbau realitas kehidupan berkeluarga ini sepertinya sangat disukai oleh banyak orang dikarenakan kisahnya yang dirasa persis sama yang dirasakan, ditambah pemainnya yang berhasil menyampaikan emosi kepada para penontonnya.
Namun, apakah film yang disajikan kepada penonton memiliki konsistensi isi yang sama dengan novelnya? Ataukah berbeda?. Nah, di sini kritiknya dimulai.
Jika dilihat dari persamaannya, film ini memiliki benang merah yang sama dengan novelnya, yakni sama-sama membahas mengenai konflik keluarga, impian diri sendiri, percintaan dan persahabatan. Serta, memiliki tokoh utama yang sama yakni Kaluna yang sama-sama berjuang bekerja keras untuk membeli rumah. Perlu diingat, tidak semua hal yang ada di dalam buku dapat tampil di layar film, semua dilakukan agar terasa lebih padat dan pas. Dan, di film Home sweet loan ini, sutradara berhasil memilih part yang diambil di dalam novel, sehingga mampu memberikan jalan cerita yang sangat baik.
Lalu, perbedaan antara film dan novel ini adalah pada pengembangan ceritanya. Di dalam novelnya, pengembangan cerita dibuat menjadi lebih rinci dan mendalam, terutama dalam menggambarkan proses pencarian rumah, konflik keluarga, konflik persahabatan, tantangan finansial dan lain-lain. Sehingga, pembaca dapat merasakan perjalanan emosional yang mendalam dan berkemungkinan akan lebih memahami pesan dan keputusan yang diambil dalam menyelesaikan permasalahan. Serta, pengembangan karakter yang hadir di film tidak sedalam di dalam novelnya.
Namun, kekurangannya di dalam film ini, terletak pada bagian akhir. Yang mana, penyelesaian masalah (konflik) terasa terburu-buru terutama penyelesaian percintaan Kaluna yang mendadak menjadi mulus bak putri raja. Hal itu terasa tidak nyata, bagaimana tidak? Perbedaan situasi dan nuansa yang dialami Kaluna mendadak berubah. Seharusnya alur cerita dalam film ini, dibuat menjadi lebih perlahan agar tidak terkesan sangat buru-buru.
Dibalik kekurangannya, novel ini juga mengandung banyak kelebihan yang patut diajukan jempol, seperti pembawaan topik yang menarik, dan tidak terkesan pasaran, serta banyak pesan moral yang disampaikan, seperti bagaimana mengatur keuangan dengan baik, bagaimana menghargai sesama keluarga dan bagaimana memilih rumah yang layak untuk di beli. Â
Kesimpulannya film ini berhasil menjaga kekosistensian isi dan nuansa yang dihadirkan di dalam novel lalu disajikan di dalam bentuk visual yang dapat dilihat secara praktis tanpa perlu membaca. Meskipun, film tidak berhasil menghadirkan konflik atau suatu moment secara detail dan mendalam. Film ini mampu memberikan benang merah yang sama dengan ringkas dan padat. Moment-moment dramatis yang diambil dari novelnya juga terasa cukup untuk durasi yang terbatas. Hanya saja ending di dalam film terkesan buru-buru.
Â
SUMBER REFERENSI:
Faidah, Citra Nur. 2019. Ekranisasi Sastra sebagai Bentuk Apresiasi Sastra Penikmat Alih Wahana. Jurnal Hasta Wiyata.