Mohon tunggu...
Mutiya Idrus Official
Mutiya Idrus Official Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dengan napen Ziya Idrus

Suka menulis karya fiksi berupa cerpen dengan genre horor.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Pemilik Wajah Cantik

8 April 2021   12:15 Diperbarui: 8 April 2021   12:33 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Part 2. Amarah Siti

"Coba ibu' pandang lekat-lekat wajahku ini, apakah wajahku ini cantik bu'? Apakah wajahku ini cantik?" teriak Siti pada Ibunya penuh emosi. Tampak mata Ibu berkaca-kaca menahan riak air mata yang akan tumpah membanjiri pipi.

"Eling, Ndu'. Ini semua ujian dari yang Kuasa. Kita hanya manusia lemah yang ndak bisa apa-apa atas cobaannya," imbuh Ibu, yang akhirnya setitik demi setitik air mata itu mengalir ke pipi rentanya.

"Ibu enak, bicara seperti itu karena Ibu ndak merasakan apa yang kurasakan. Sana sini aku dihujat, dicaci, dicemoohi karena mukaku yang jelek penuh bisul. Jika nanah itu sudah memecah akan keluar bau busuk. Aku sendiri tidak tahan akan baunya yang menguar sampai ke hidungku. Aku benci dengan wajahku ini!" Siti kesal akan hidupnya yang penuh kehinaan, dia pun membenturkan keningnya pada tembok. Membuat sang Ibu memekik.

"Jangan Ndu', jangan ... Jangan lakukan itu, Ndu'. Kasihanilah Ibu. Tiada sesiapun di dunia ini selain kamu. Ibu sayang sama kamu, Ndu'. Ibu ndak perduli dengan wajahmu yang seperti itu." Ibu dengan cepat menghentikan aksi Siti yang mencoba mengakhiri hidupnya. Ibu memeluk tubuhnya dari belakang, menahan tubuhnya agar tidak mengulangi perbuatan bodohnya itu.

Siti pun terduduk ke lantai, tangisannya memecah kesunyian siang di sertai gerimis. Keningnya sedikit mengeluarkan darah segar mengalir sampai ke batang hidung. Ibu dengan sigap menyeka darah segar itu dengan kerudung yang dikenakannya. Hati Ibu kian tercabik-cabik melihat Siti tersiksa. Namun, apalah daya. Semua usaha telah dicoba untuk mengobati wajah Siti. Lagi-lagi tidak ada tabib atau dukun yang bisa mengobatinya. Ibu berusaha berpindah ke medis barangkali ada titik terang atas kesembuhan Siti. Pun Siti hanya diberikan obat antiseptic dan salep. Sampai habis obat dan salep tersebut, bisul di wajah Siti bukan malah hilang, melainkan semakin tumbuh subur.

'Gusti Allah, maafkanlah aku. Sembuhkanlah penyakit Siti. Aku rela jika penyakitnya harus berpindah kepadaku,' batin Ibu. Mereka berdua pun larut dalam tangisan.

Tiba-tiba saja, terdengar gaduh di halaman depan, beberapa orang seperti berteriak dan menyebut nama Siti. Sontak Siti dan Ibunya terperanjat. Mereka berdua bangkit dari duduknya, bergegas menyeka air mata yang masih mengalir di pipi sampai kering.

"Ndu', kamu di sini saja. Biar Ibu yang keluar," ucap Ibu sembari mengemaskan sedikit bajunya yang berantakkan dan meminjam selendang Siti dengan segera dibaluti dikepalanya sampai leher.

Ibu bergegas keluar, menghampiri suara gaduh itu.

"Maaf Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak, ada apa ini?" tanya Ibu kepada mereka yang sedang berdiri di depan rumahnya.

"Bu, bukannya kami sudah bilang supaya Siti diungsikan dari kampung ini?" sahut Pak Duloh tegas.

"Iya, kenapa dia masih berkeliaran sih di kampung ini," sahut Bu Sri istri dari Pak Duloh.

"Maaf Ibu, Bapak. Beri kami kesempatan lagi untuk bisa mencari tempat tinggal baru agar bisa pindah dari sini," imbuh Ibu harap.

"Ini sudah kesekian kalinya kami memberikan kesempatan pada Ibu dan Siti. Tapi Ibu masih saja membiarkan anak Ibu itu berkeliaran. Apa Ibu mau tanggung jawab, jika kami semua terkena dampak penyakit yang ditularkan dari anak Ibu tersebut," sahut Bu Ida.

Ibu terdiam sesaat, tak ada kata yang bisa ia lontarkan. Dari kejauhan, tampak Pak Ahmad memutar motornya, mengarah ke rumah Ibunya Siti. Sesampainya di halaman depan rumah Ibunya Siti, kening beliau langsung berkernyit hebat memandang sekelompok warga.

"Ada apa ini?" tanya Pak Ahmad, yang merupakan Kepala Dusun dari kampung Kembang Sari.

"Ndak Pak, cuma memberitahukan Bu Asih. Bisa-bisanya beliau membiarkan anaknya berkeliaran di kampung. Waktu lalu kami sudah memperingatkan agar dia tak boleh keluyuran. Kali ini hal itu diulang lagi sama Bu Asih." Jawab Pak Duloh.

"Apa salahnya? Siti juga warga kampung sini. Tak seharusnya kalian menghakimi seseorang dan mengharuskan dia bediam diri di rumah," tegas Pak Ahmad.

"Siti itu pembawa penyakit, Pak. Kami tidak mau, jika anak gadis kami berwajah buruk seperti dia karena terjangkit dari penyakit yang dideritanya." Ibu yang lain menyahut.

"Kami pun juga tidak mau, jika anak gadis kami tidak bisa menikah karena sang pria tiba-tiba kabur melihat wajah buruk dari anak-anak kami," sahut Ibu yang lain.

"Iya, iya, bener, Pak. Usir saja Bu Asih dan Siti dari kampung ini." Mereka semua berseru kompak.

"Cukup. Saya yang berhak atas keputusan ini. Sekarang kalian semua silahkan pulang ke rumah masing-masing. Lanjutkan pekerjaan kalian yang tertunda, karena sudah membahas perihal yang tidak penting. Masih ada jalan kekeluargaan, untuk dicarikan solusinya." Pak Ahmad berkata dengan bijaksana.

Mendengar pernyataan dari Pak Ahmad, semua warga menjadi bubar. Mereka segan kepada Pak Ahmad. Beliau adalah seorang pemimpin yang teladan di kampung Kembang Sari. Sejak beliau memimpin kampung ini, tidak ada kegaduhan yang ditimbulkan, semua aman dan tenteram. Jika ada perihal yang sulit pun, Pak Ahmad mengajak seluruh warganya untuk berkumpul di rumahnya untuk mencari solusi terbaik dari masalah yang sedang dihadapi. Termasuk permasalahan Siti, mereka mempercayakan tanggung jawab kepada Pak Ahmad.

Bu Asih masih mematung di teras rumah, memandangi satu persatu warga yang pulang dari halaman rumahnya. Beliau merasa terpukul atas kejadian ini. Dari kejauhan, tampak Siti mengintip dari balik jendela. Ibu memandanginya, seketika mereka saling bertatapan. Wajah Siti merah padam, lalu ia pun pergi.

Di luar, Pak Ahmad masih berdiri di halaman depan rumah, dan Bu Asih menyuruh Pak Ahmad masuk dan mempersilahkan beliau duduk di bangku yang sudah tersedia. Pak Ahmad mengawali perbincangannya.

"Bu Asih, maafkan saya ternyata warga berbondong-bondong datang ke sini, hingga menganggu kenyamanan Bu Asih dan Siti."

"Iyo, orak popo toh, Pak. Saya juga sadar atas apa yang menimpa keluarga kami sekarang," ungkap Ibu lembut.

"Saya juga bingung, Pak. Kami harus pindah kemana, soalnya kami tidak ada keluarga, jika harus pindah ke kampung lain. Tempat tinggal kami hanya di sini, sejak saya dan suami menikah dan melahirkan Siti." Ibu tertunduk sendu.

"Saya masih memikirkan dulu, Bu'. Apa solusi terbaik bagi Bu Asih dan Siti. Saran saya utuk sementara waktu Siti ndak usah keluar dulu, Bu'. Saya takut warga akan berbuat semena-mena terhadap Siti. Di luar pengawasan Ibu."

"Ngih, Pak. Saya akan bilangkan hal ini pada Siti. Semoga dia paham akan hal ini," lirih Bu Asih.

"Matur suwun, Bu'. Saya pulang dulu, kalau ada hal yang perlu ditanyakan. Saya ada di rumah kalau bukan jam kerja."

Ibu mengangguk pelan. Pak Ahmad beranjak dan pamit pulang. Ibu mengantar Pak Ahmad sampai tangga, menunggu beliau menyalakan motor sampai punggungnya lenyap di belokkan jalan.

Bu Asih buru-buru masuk dan mengunci pintu rumahnya. Saat Ibu berbalik Siti berdiri tepat di belakang. Dia pun berujar.

"Mereka akan merasakan atas apa yang aku rasakan."

Bersambung ....  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun