Mohon tunggu...
Mutiara Tyas Kingkin
Mutiara Tyas Kingkin Mohon Tunggu... Freelancer - Educators

These are my collection of words to share with you. Hopefully, it will bring a good vibe to the readers.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Genduk

16 Agustus 2023   19:40 Diperbarui: 16 Agustus 2023   19:51 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Yen nangis mundak ibu bingung... 

Terngiang-ngiang suara simbok di kepalaku. Mengantar kepergianku.

"Siap, Nduk?" Tanya Pakdhe Rejo. Aku mengangguk.

***

Meninggalkan Desa Januragung-apakah menjadi sesuatu yang harus aku syukuri atau tidak? Meninggalkan seluruh kebiasaan atau yang mereka bilang sebagai tradisi. Salah satunya, Darah ayu, kebiasaan Desa Januragung memandikan perempuan dengan air yang ditetesi darah ayam kampung muda, dengan maksud agar cepat 'payu' jika sudah dewasa. Banyak perempuan yang rela menjadi istri kedua bahkan kelima di usia sekolah-dengan alasan sudah laku atau seperti yang menimpa aku dan simbok. Melunasi hutang.

Hutang itu milik almarhum bapak kepada Pak Dharmo. Setelah kuketahui, Pak Dharmo adalah mantan petugas Desa Januragung. Konon katanya, bapak dianggap sebagai mantan PKI. Untuk membersihkan nama itu dari tanda kependudukan perlu membayar puluhan juta-yang aku sendiri tidak tahu pasti berapa jumlahnya. Hal lain yang mengejutkan lagi, pernikahan simbok dan bapak dianggap tidak sah, karena status bapak yang seperti itu.

Di perjalanan, Pakdhe Rejo memberitahuku bahwa Nyonya Margareth adalah seorang perempuan keturunan Belanda, usianya sekitar 65 tahun. Nyonya Margareth adalah seorang perawat. Di usianya yang sudah pensiun, ia mengajar anak-anak belajar membaca dan mengenalkan Bahasa Belanda dan juga Bahasa Inggris di halaman rumahnya.

Menurut cerita Pakdhe Rejo, rumah Nyonya Margareth sangat besar dan merupakan bangunan Belanda. Banyak bunga-bunga di halaman, ada kolam ikan dengan pancuran air, lampu-lampu taman, serta jendela kaca yang besar seperti yang pernah aku lihat di buku cerita milik Bu Widowati.

"Nyonya Margareth juga punya banyak pakaian dress panjang. Semoga dia bersudi hati membaginya satu untukmu." Mendengar itu, aku tersenyum senang. Membayangkan aku akan mengenakan dress panjang selain dress kuning milikku. "Jangan merepotkan, Nyonya Margareth. Dia orang yang baik." Aku mengangguk.

Dua hari melakukan perjalanan menuju rumah Nyonya Margareth. Akhirnya, kami sampai di sebuah rumah yang bangunannya memang besar sekali seperti yang diceritakan pakdhe. Gerbangnya menjulang tinggi. Aku akan tinggal di sini, bersama seorang perempuan asing yang bukan ibuku. Seandainya aku bisa mengajak simbok turut bersama. Mendadak hatiku gundah, tidak lagi sesenang saat pakdhe bercerita.

Seorang perempuan bertubuh jangkung, berkulit putih, matanya lebih coklat dari orang di desa kebanyakkan yang ku kenal berdiri di ambang pintu. Oh, Nyonya Margareth!

(bersambung...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun