Mohon tunggu...
Mutiara Tyas Kingkin
Mutiara Tyas Kingkin Mohon Tunggu... Freelancer - Educators

These are my collection of words to share with you. Hopefully, it will bring a good vibe to the readers.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Genduk

16 Agustus 2023   19:40 Diperbarui: 16 Agustus 2023   19:51 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kenapa menangis, mbok?" 

"Seorang ibu, selalu mendoakan yang terbaik bagi buah hatinya."

Aku masih belum mengerti, mengapa tiba-tiba simbok menangis saat menembang. Biasanya justru simbok ikut tertidur bahkan saat lagunya belum selesai.

"Uripo mulya anakku, urip sing urup. Urip berkecukupan, nduweni kehormatan, lan urip prasaja."  Aku hanya manggut-manggut. Tidak biasanya simbok terlihat sesedih ini.

"Umurmu sudah 15 tahun, Nduk. Sudah ada bercak darah di celana dalammu. Mulai terlihat juga lingkar dadamu. Genduk...." 

"Ya. Mbok?"  Tangannya terus membelai rambutku, belaiannya terasa lebih kuat-seakan-akan takut aku tidak bisa merasakan sentuhannya lagi. Simbok benar, aku sudah mengalami menstruasi. Itu ku sadari saat sedang belajar membaca di Balai Desa. Kala itu usiaku 12 tahun.

"Genduk, coba kamu tulis nomor satu itu ke depan." Bu Guru Widowati yang cantik-tapi badannya sedikit gempal, menaruh kapur putih yang tinggal sedikit itu di mejaku.

Tiba-tiba segerombolan anak yang duduk di belakang tertawa saat aku berdiri. Mereka tertawa sambil menunjuk-nunjuk rokku. "Aaaaa.... Roknya Genduk berwarna merah..." Kulihat rokku yang berwarna putih sudah dipenuhi dengan darah. Bu Widowati yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, segera memberikan jaket tipisnya ke rokku dan menghantarku ke toilet.

Bu Widowati membantuku membersihkan darah-yang entah dari mana asalnya ini. Beliau menaruhkan banyak kain di celanaku, membuat jalanku mengganjal. Bu Widowati mengajakku duduk di sebuah ruang, yang ku ketahui itu adalah kantor untuk para petugas desa. Di sana iya memberiku minum. Aku meneguknya sampai tandas.

"Nduk, kamu sudah menjadi perempuan. Bocah ayu lan utuh." Bu Widowati mengatakannya sambil tersenyum. Menjadi perempuan katanya? Bukankah aku memang seorang perempuan? Perempuan utuh?

Sesampainya di rumah, aku menceritakan kejadian ini pada simbok. Raut wajah simbok senada dengan Bu Widowati saat kuberitahu-ada darah yang keluar di celanaku hari ini. Simbok juga bilang, aku sudah menjadi seorang perempuan. Perempuan yang bertumbuh menjadi gadis-yang lebih utuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun