Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kasus Bunuh Diri Meningkat Akhir-Akhir Ini? Yuk Lebih Peduli Diri dan Orang Lain

24 Desember 2023   20:06 Diperbarui: 24 Desember 2023   20:13 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Pixabay/anemone123

Diduga Tabrakan Diri Ke Kereta, Mahasiswi Asal Semarang Tewas Ketabrak KA di Sragi. Korban yang terlindas kereta api di KM 99+7 pada Minggu (26/11/2023) sekira pukul 20.30 wib. (Sumber : Pekalongan Berita) 

Kasus bunuh diri di atas merupakan satu dari sederet kasus yang kerap saya baca beritanya beberapa waktu belakangan. Ada apa sebenarnya? 

Sebelumnya, saya membahas ini bukan sebagai psikolog atau orang yang ahli dalam kejiwaan. Saya akan membahasnya sebagai masyarakat biasa yang merasa heran terhadap fenomena bunuh diri yang beberapa waktu ini kerap terjadi. 

Sedih rasanya membayangkan bila berada di posisi mereka yang memiliki masalah. Seakan ada mental health yang terkikis oleh rasa sedih tak berkesudahan. 

Sebagai manusia biasa, saya paham bahwa ada waktunya manusia mengalami jatuh. Pada masa-masa itu, manusia membutuhkan dukungan dan bantuan dari orang lain seperti keluarga atau sahabat. 


Hanya saja, tak semua orang beruntung memiliki keluarga atau sahabat yang peduli. Jika sudah demikian, maka dia hanya bisa mengandalkan kekuatan diri sendiri. 

"Eh, kalau depresi itu sebenarnya karena lemah iman lho, karena gak dekat dengan Tuhan sehingga mikirnya engga-engga"

Hayoo, siapa yang sering dapat atau baca kalimat semacam ini bila menemukan berita kasus bunuh diri di media massa atau media sosial? Kalau pernah tahu, cung! 

Bunuh diri terjadi karena banyak faktor. Beberapa pakar mengatakan bahwa bunuh diri sering kali dilakukan akibat putus asa, yang penyebabnya sering kali dikaitkan dengan gangguan jiwa misalnya depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, ketergantungan alkohol, atau penyalahgunaan obat.

Salah satu korban bunuh diri yang terjadi di Sragi tersebut ditengarai memiliki depresi yang membuat ia nekat menabrakkan diri ke kereta api.

Berdasarkan keterangan saksi di lokasi, korban sudah berada di sekitaran rel kereta api Sragi dan terlihat seperti orang bingung sejak pukul 17.00 WIB. 

"Pada pukul 20.30 WIB saksi melihat dari kejauhan, tiba-tiba saat ada kereta melintas korban langsung melarikan diri dan seakan melakukan bunuhdiri dengan cara menabrakan diri ke kereta," 

Dari identitas korban diketahui bahwa ia bernama SDM (25) yang berstatus mahasiswi Unwahas Semarang. 

Jujur, sebagai masyarakat biasa, saya merasa miris membaca berita mengenai bunuh diri akhir-akhir ini. Jumlahnya meningkat. Bahkan yang terbaru, ada keluarga di Malang yang nekat bunuh diri dan meninggalkan satu anak saja. 

Ada apa sebenarnya sehingga lebih banyak orang memilih mengakhiri hidup dengan cara-cara yang mengerikan. 

Seharusnya, ini menjadi observasi kita bersama bahwa mental health bukan sesuatu yang bisa kita sepelekan. 

Setiap orang butuh teman

Manusia tak bisa sendiri. Setiap orang butuh manusia lain untuk membersamai. Beberapa orang mungkin pernah berkata kalau bunuh diri artinya imannya lemah. 

Benarkah demikian? 

Entahlah. Sebenarnya banyak faktor yang bisa membuat manusia nekat melakukan bunuh diri. Agama memang bisa menjadi salah satu pencegah, tapi bukan berarti pelaku bunuh diri adalah orang yang lemah iman. 

Pada kasus bunuh diri di Malang, tetangga korban mengatakan bahwa si ayah rajin sholat di masjid dan cukup relijius. Tentu, relijiusitas ini berkaitan dengan keimanan seseorang. 

Tiap orang punya masa down dalam hidup. Bila pada masa-masa down itu ia tak mendapat kekuatan untuk bangkit dan menemukan jalan keluar, bisa jadi terpikir upaya untuk melakukan tindakan ekstrim. Nauzubillah. 

Jujur, saya menulis kali ini bukan sok pintar atau ingin menggurui. Saya hanya merasakan miris dan sedih melihat fenomena bunuh diri yang sering terjadi. Takut rasanya bila itu dianggap lumrah oleh orang-orang. 

Saya juga pernah berada di fase down dan tak memiliki siapapun untuk bercerita. Rasanya benar-benar kalut dan merasa bahwa hidup menjadi tak berguna. 

Beruntung, saya punya adik sebagai tempat berbagi cerita sehingga ada kelegaan batin ketika bisa melepaskan  beban di pikiran. 

Melihat hal tersebut, maka teman bercerita dibutuhkan dalam hidup. Mau mendengarkan cerita orang lain, walau terlihat sederhana, bisa jadi meredakan emosi negatif seseorang.

Setiap orang butuh teman bercerita (Sumber : Pixabay/ Annie Spratt)
Setiap orang butuh teman bercerita (Sumber : Pixabay/ Annie Spratt)

Tak hanya itu saja, penting juga bagi kita untuk tidak mudah menjustifikasi orang lain dengan kalimat "Mungkin kamu lagi lemah iman" ketika menemukan orang yang tengah down. Sejujurnya, kalimat itulah yang pada akhirnya membuat orang tersebut tak percaya diri untuk berbagi cerita.

Akhirnya, meledaklah segala emosi yang terbendung dan memutuskan untuk mengambil tindakan ekstrim yakni membunuh dirinya sendiri.

Kawan, sudah saatnya kita peduli pada diri sendiri dan orang di sekitar kita. Peduli pada diri sendiri disini berarti bisa mengenali potensi konflik batin yang terjadi dan segera melepaskannya dengan bercerita mengenai orang lain.

Semoga kita selalu terlindungi dari pikiran-pikiran buruk dan Tuhan selalu memberi kita jalan yang membuat keinginan untuk berjuang dan hidup selalu kuat. Salam hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun