Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puasa Ramadan

17 Mei 2021   17:07 Diperbarui: 17 Mei 2021   17:16 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Pixabay

Rama hanya tersenyum melihat teman-teman sekelasnya bersorak saat diumumkan bahwa dua hari ke depan sekolah libur menyambut Ramadan. Seperti sekumpulan lebah cerita keseruan Bulan Ramadan berloncatan. Suasana kelas menjadi gaduh dan berisik. Tak seperti anak-anak lain, Rama biasa saja menanggapi tentang puasa. Bukan hanya saat Ramadhan. Hampir setiap hari ia dan adiknya berpuasa karena tak ada makanan. 

"Rama, kok kamu diam saja! Gak suka bulan Ramadan, ya? Pasti gak kuat puasa ya?" Berondong Raka sambil tertawa meledek, melihat Rama teman sebangkunya yang diam saja. Namun Rama lagi-lagi cuma nyengir tak menjawab pertanyaan itu. Kelas semakin gaduh dan tak terkontrol hingga Pak Herman  menggebrak meja, seketika tenang kembali. 

Lonceng panjang  dua kali berbunyi pertanda jam pelajaran berakhir dan siswa siswi kelas empat SD Batu Hiedeng itu berlari berhamburan keluar kelas. Raka yang masih penasaran melihat ekspresi tenang Rama. Baginya bulan Ramadan sangat menyenangkan. Banyak makanan, lebih enak dari biasanya dan tentu di akhir bulan ia akan dapat baju baru. Raka mengira Rama tak kuat puasa. Jika itu benar, hal itu bisa ia gunakan untuk meledek Rama. 

"Rama, bener kan kamu gak kuat puasa?" 

Lagi-lagi Rama tak menjawab. Ia lebih memilih berlari meninggalkan Raka sendirian dengan rasa penasarannya. Raka yang bertubuh gempal memilih berjalan pelan dengan kekesalannya karena tak kuat mengimbangi Rama. 

Sesampainya di Rumah, Rama langsung berganti pakaian dan mengambil peralatan memulung. Belum sempat membuka pintu, Fitri adiknya muncul dari bilik kamar mengejutkan. 

"Kak, Rama mau mulung?" Rama berhenti, kemudian berbalik ke arah Fitri yang berwajah pucat. 

"Kak Rama, aku lapar?" Fitri memelas sambil memegangi perutnya. 

"Bentar ya dik, Kakak mulung dulu, nanti kalau sudah dapat langsung kakak jual. Nanti uangnya, Kakak beliin makanan?"

"Janji ya, kak!"

Rama tersenyum meyakinkan adiknya. Kemudian bergegas ke luar rumah. 

Dulu saat ayahnya masih ada Rama tak pernah memulung. Namun nasib membuatnya mengikuti jejak ayahnya menjadi pemulung. Menyusuri jalanan untuk mencari barang-barang yang bisa ditukar uang. Dengan tekun ia menghampiri tong-tong sampah dan mengorek dengan pengait. Mencari benda-benda yang bisa didaur ulang. Kemudian memasukannya ke dalam karung di punggung kirinya. 

Langkahnya terhenti di depan baliho besar di depan sebuah pos ronda. Bergambar dua orang lelaki memakai jas dengan topi hitam di kepalanya. Keduanya tampak tersenyum bahagia sambil merapatkan kedua tangan di depan dada. 

"Marhaban yaa Ramadan 1422H. Selamat menunaikan ibadah puasa." Rama berhenti sejenak untuk menarik nafas kemudian melanjutkan membaca. 

"Mari tingkatkan ibadah dan beramal di Bulan suci yang penuh rahmat ini. Semoga kita senantiasa mendapatkan ampunan dan Ridha Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamiin."

Tatapan mata Rama terhenti pada nama dan foto dalam baliho. Kemudian ia mengambil tas kanvas yang diselipkan di pinggangnya. Ia membandingkan foto dalam baliho dengan foto pada tas kanvas setelah mengambil botol minum dari dalamnya. 

"Kami akan mensejahterakan rakyat dan memberantas kemiskinan." Kembali Rama membaca tulisan pada tas dengan lantang. Kemudian ia kembali menyimpan botol minum ke dalamnya dan menyelipkan kembali di pinggang. 

Rama memandang lurus ke depan, kemudian kembali berjalan dan memeriksa tong-tong sampah. Mencari botol-botol plastik atau barang apa saja yang punya nilai jual. 

"Besok sahur pertama yang spesial ya, Kak!" Rama teringat Fitri adiknya, saat melihat karungnya yang mulai mengembung. "Semoga cukup untuk sore dan malam nanti," ia berdoa sejenak kemudian tersenyum dan meneruskan perjalanan mengitari perumahan. 

Terik matahari yang memantul dari setiap benda yang ditimpa membuat hawa semakin panas. Namun Rama seakan mati rasa. Sendal jepit tipis di bawah telapak kakinya seakan hendak lumer terkena panasnya aspal jalan. Baju lusuh yang melekat di tubuhnya semakin basah karena keringat. "Sedikit lagi," bisik dalam hatinya. Spontan otaknya menghitung jika karungnya penuh berapa uang yang kira-kira ia dapatkan. 

Menjelang maghrib Rama sampai di depan rumah. Hatinya diliputi bahagia, membayangkan Fitri akan bersorak gembira melihat apa yang ia bawa. Perlahan kebahagiaan itu sirna. Berganti rasa khawatir yang menyeruak begitu saja. Saat ia melihat daun pintu terbuka sedikit serta lampu rumah yang menyala terang, tak seperti biasanya. 

"Fit, Fitri," panggilnya sambil menerobos masuk. Degup jantungnya semakin cepat Saat ia dapati beberapa tetangga berada dalam rumahnya. 

"Ramadan, kemana saja kamu, Jang, Jang?" 

Tak memedulikan yang bertanya, Rama langsung menghampiri Fitri yang tergolek lemah.

"Adikmu, pingsan, Jang!" terang Bi Narsih   tetangga sebelah Rama. 

"Fit, bangun Fit, Kakak pulang!" Dengan nada bergetar, Rama memangil-manggil nama adiknya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Fitri. 

"Kak," sahut Fitri lemah. Mata kecilnya perlahan membuka. Fitri tampak kebingungan. Ia melihat ke sekeliling ruangan. 

"Akhirnya, kamu siuman juga, neng," timpal yang lain. Dengan cekatan Bi Narsih memberi Fitri minum dan menyuapinya makan. Hingga perlahan tenaga Fitri pulih kembali. Sinar matanya yang redup kembali berbinar. 

Satu persatu para tetangga Rama pamit pulang, setelah Fitri benar-benar pulih. Tampaknya ia pingsan karena lapar. Beruntung waktu itu ada Bi Narsih yang datang menjenguknya. 

"Ramadhan, Fitri, lain kali kalau ada apa-apa ngomong, ka Bibi. Kalian kan tahu Bibi sibuk tina pasar," ucap Bi Narsih. Sinar matanya satu memandang kedua bocah tetangganya. Ada rasa bersalah menusuk-nusuk hatinya. 

"Iya, Bi. Maaf merepotkan."
Setitik air mata jatuh di sudut mata Bi Narsih, mendengar jawaban Ramadhan. Hatinya trenyuh dengan sikap dewasa yang ditunjukan. Kehidupan pahit membuat bocah itu dewasa sebelum waktunya. 

"Ya, sudah. Bibi pamit dulu. Inget ya, lain kali bilang kalau butuh apa-apa. Jangan sungkan, Bibi cuma sibuk, bukan tak peduli sama kalian." Bi Narsih membelai pipi Fitri dan membelai kepala Ramadhan sebelum beranjak pergi. 

"Iya, Bi," jawab Ramadan parau. Selama ini merasa hidup sendiri tanpa ada yang peduli. Namun kini ia menyadari kebaikan Bi Narsih dan tetangga-tetangga yang lain. 

Sepeninggal Bi Narsih, Ramadan dan Fitri saling berpandangan. Rasa haru dan bahagia menyelimuti keduanya. 

"Alhamdulillah ya, Kak," ucap Fitri yang disambut senyuman manis oleh Ramadan. 

Tamat

Mutia AH
Ruji, 17 Mei 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun