Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Percintaan Terakhir

8 April 2020   17:42 Diperbarui: 8 April 2020   17:44 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay


Malam ini angin menerpa, membawa hawa dingin menyejukan. Membunyikan hiasan kerang hasil karyamu. Masih ingat jelas, saat dengan tekun kau memasukan satu demi satu kerang-kerang kecil yang dikumpulkan dari tepian pantai teluk penyu.
Hanya hiasan ini yang tersisa selain bayang-bayangmu. Entah sampai kapan aku hidup dalam kenangan masa lalu.

"Bila aku tiada, carilah penggantiku," katamu waktu itu, yang kubalas dengan cubitan kecil di pinggang.

"Tidak akan, hanya ada satu cinta dalam hidupku," Jawaku, sambil membenamkan kepala, dalam pelukan hangatmu. Tak disangka, itulah percakapan terakhir, sebelum akhirnya kita berdua larut dalam gairah cinta terakhir.

Kita terlelap dalam kepuasan lahir dan batin, hingga pagi menjelang senyum itu masih terukir manis di bibirmu. Pelan kau mulai menggeliat, menampakan otot-otot tubuhmu yang kekar.  Kembali bangkitkan gelayar aneh di sekujur tubuh.

Aku baru saja hendak bangkit, tetapi kembali jatuh pada empuknya kasur lokal perabot  teristimewa dalam rumah kita. Kau menarik pinggangku dari belakang, sembari tersenyum nakal memberi isyarat tuk mengulang pergulatan kita semalam.

Namun, belum seluruhnya bulu kudukku meremang, gedoran pintu rumah diketuk seseorang. Meski enggan kita kembali saling melepaskan pelukan. Terlalu pagi dan lancang rasanya, tamu datang menggagalkan kemesraan kita kalau itu. Namun dengan sabar kau menerima tamumu yang tak lain adalah seorang sahabat lama.

Entah apa yang kalian bicarakan waktu itu, gurat kecemasan terlihat di raut wajah tampanmu. Setelah membersihkan diri dan kau khusuk larut dalam ibadah shalat Shubuh. Kulihat bahumu berguncang, entah doa apa yang kau langitkan hingga tangisan terdengar begitu memilukan.

Kau lebih banyak diam, meski pun tangan menggengam mushaf Al-Qur'an hatimu tidaklah di situ. Apa lagi pikiranmu, kupastikan kau tengah dilanda kegelisahan. Seperti biasa, kau tak pernah mau berbagi prihal kesulitan. Hidupmu terlalu banyak misteri yang disembunyikan, hanya satu hal yang tak dapat disangkal, aku dan kamu saling mencintai.

Telepon genggam jadul milikmu di atas meja, bergetar hingga terdengar keras menyentak lamunan, kau bergegas bangkit dan mengangkatnya. Tanpa persiapan seseorang yang hendak berpergian jauh, kau memelukku erat. Kemudian diam saat kita saling bertatapan, "maafkan aku," lirih ucapmu, kemudian berlalu meninggalkanku tanpa sebuah penjelasan.

Dua tahun berlalu, tanpa kabar berita. Di beranda rumah sederhana, di balik tirai benang ronce kerang buatanmu, aku menanti. Hingga saat matahari di puncak  langit, memanggang Bumi bulan Juni tahun lalu, sekelompok lelaki berseragam datang mencarimu. Bukan hanya kedatangan mereka tetapi juga warta yang mereka bawa, meluluh lantahkan jiwa raga. Bukan hanya aku, Negara pun sama. 'Buronan' tersemat di belakang namamu.

Aku diam tak wartakan pada angin atau pun hujan, prihal dirimu. Namun banyak mata dan telinga yang senantiasa rela mengintai hingga menyuarakan tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun