Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

[Resensi] Membaca Jejak Fiersa

20 Maret 2019   20:55 Diperbarui: 21 Maret 2019   01:56 1489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: halisa297.wordpress.com

"Sejauh apa pun jalan yang kita tempuh, tujuan akhir selalu rumah." 

Kesimpulan yang menjadi jawaban sebuah petualangan dari seorang Bung. Nama beken yang menjadi tokoh utama dan penulis dalam novel ini ia tuliskan di bagian paling atas cover bagian depan. Kalimat ini mengingatkan pembaca bahwa selalu ada tempat kembali dalam sebuah kata pamit, pisah, tualang, bahkan pergi.

Buku yang tersaji tanpa daftar isi ini menurut saya terkesan unik. Baik dalam proses, sebagaimana yang dituliskan Fiersa hingga bagian-bagian tertentu yang menggambarkan potret negeri yang tentu sangat menambah wawasan pembaca untuk ikut andil menjelajahi negeri tercinta ini. Ditambah lagi dengan alur cerita yang mudah dipahami, Fiersa berhasil menggeser ingatan kita untuk sekadar melihat peristiwa yang ia alami selama bertualang. Tabik! Ungkapnya di halaman pertama.

Serentetan kisah yang terangkum dalam; Kausa, Arkais, Sawala, Swabakar, Ruaya, Waham, Utara, dan Sarak merupakan bagian bab yang mengisahkan perjalanan penulis menghadapi suka duka selama berkeliling ke Indonesia.

Awal pertemuan pertamanya dengan Mia di 2008 dan petualangan meninggalkan kota Bandung yang penuh kenangan di tahun 2013 menjadi babak paling menarik untuk ditelusuri. Fiersa menceritakan dua kisahnya sekaligus dalam serentetan petualangan hingga ia dapat membalas 'dendam' untuk dapat hidup lebih baik tanpa terkungkung pada masa lalu yang pahit.

Di tahun 2013, Bung (penulis) memulai aksinya berkeliling Indonesia bersama dua temannya yaitu Prem dan Baduy. Prem seorang gadis yang memiliki nama asli Anisa Andini, juga Baduy yang merupakan teman baik Prem. Ketiganya berangkat dan berkumpul di Bandung dengan membawa ransel besar yang berisi kebutuhan selama di perjalanan. Sebagai seorang backpacker, mereka berkomitmen untuk menghemat pengeluaran agar cukup untuk hidup hingga pulang.

Suatu ketika di 2008. Sebuah tulisan yang barangkali bisa disebut diary ini menggambarkan bagaimana diri penulis sedang menuliskan sesuatu tentang hari yan sedang dilaluinya. Tanpa malu maupun ragu, segala perasaan yang terpendam dimuntahkan begitu saja di dalam surat pribadinya untuk ia baca dan ia kenang. Seperti yang penulis katakan;

Arah Langkah ini bukan hanya sekadar tentang perjalanan saya, tapi juga tentang keindahan negeri ini, yang saya tangkap lewat mata dan abadikan lewat foto dan tulisan, dan ternyata meskipun diwarnai perbedaan, cinta dan persahabatan bisa ditemukan di mana pun (hal. 2).

Tidak ingin menyembunyikan sesuatu yang senyatanya terjadi, Fiersa mengeluarkan kegundahan hati untuk disulap menjadi langkah besar agardapat menaklukan kegalauan. Hingga jatuhlah ia kepelukan semesta dengan menikmati indahnya alam raya. Perjalanan yang tidak mudah ia lupa sepanjang hidupnya. Inilah pembuktian Fiersa seperti yang tertulisan dalam setiap lembar Arah Langkah yang penuh kejutan dan cerita-cerita unik diberbagai belahan daerah di nusantara.

Mulai dari pertemuannya dengan teman yang belum ia temui di media social, perjalanan yang bermodalkan hitching (menumpang), bermalam di rumah kawan, hingga emperan, membangun tenda dipinggir pantai, sandal yang hilang akibat terbawa ombak laut pasang, berpisah dengan teman-teman hingga dihadapkan dengan dua pilihan; kembali pulang atau melanjutkan perjalanan.

Kebesaran hati seorang Fiersa tegambar ketika berkali-kali kesulitan mnghampiri. Dengan sikap yang tenang, ia mencoba mencari solusi terbaik dengan dua kawannya. Meskipun rasa takut akan hal-hal yang tidak diinginkan kerap menghampiri. Termasuk hal mistis tentang kepercayaan daerah Nias bahwa jika berlaku macam-macam, maka ia tidak akan bisa kembali pulang. Satu hal yang seringkali terngiang di kepala Bung.

"Bung, napasnya diatur! Kakinya enggak usah teralu banyak gerak. Jangan kayak orang panik begitu," Baduy berkomentar melihat gaya menyelamku (penulis) yang sermpangan.

"Maksudnya?" tanyaku (penulis) masih sambil berenang.

Baduy lalu naik ke atas kapal. Ia buka snorkel dan google yang melekat di kepalanya. "Yang penting tetap tenang. Kalau kamu banyak gerak, nanti malah cape. Kamu tau, pembunuh nomor satu di alam?"

"Rasa panik," jawab Prem yang menyusul Baduy naik ke atas kapal.

Aku mencoba lagi dan lagi, tapi tetap salah di mata Baduy. Ah, aku memang harus mulai belajar menyelam, apalag di negeri bahari ini (halaman 146).

Istilah yang kerap sekali diungkap perihal 'zona nyaman' yang dimaksud ialah, usaha untuk keluar dari rasa malas dan larut dalam kesedihan. Beruntung, Fiersa merupakan seorang yang pantang menyerah dan selalu ingin mencoba hal baru. Itulah sisi lebih dari penulis yang menuliskan pengalamannya selama berpetualang.

Jika dirangkum dalam sebuah daftar, penulis menampung banyak angka lebih yang jelas tidak diragukan lagi. Terbukti, kisah petualangannya mendapatkan apresiasi oleh banyak orang di penjuru negeri. Pemikiran serta ide yang kreatif mendorong dirinya untuk terus berkarya.

Namun tak lepas dari kekurangan, Fiersa juga memiliki kelemahan yang menurut peresensi secara subjektif harus dibenahi. Mengingat Si Penulis merupakan teladan bagi banyak orang. Sebab, dari Arah Langkah, peresensi menemukan kejanggalan, serupa pertemuan dengan Ikar. Laki-laki yang 'berbeda' dari semua temannya, hingga membuat Fiersa bertanya-tanya.

Meskipun di lingkungan yang notabennya betato, minum-minuman keras, merokok, dan berjudi, justru Ikar memilih jalan untuk tidak melakukan hal-hal 'dilarang' tersebut karena suatu alasan. 

"Saya membuat janji. Kalau Tuhan menolong saya, saya tidak akan lagi menyentuh alcohol dan rokok. Saya mau memperbaiki pola hidup. Ternyata, Tuhan member saya kesempatan kedua. Tuhan menolong saya sampai saya bisa hidup kembali, bisa ada hari ini bersama Bang Bung."

"Kamu luar biasa, Kar. Semoga aku bisa mengikuti jejakmu berhenti merokok dan minum-minum."

"Ya. Begitu, dong. Kita enggak akan pernah tahu kapan napas terakhir kita berembus dan kapan kita meregang nyawa. Sudah saatnya kita belajar bersyukur. Tidak perlu dengan melakukan hal-hal hebat. Cukup dimulai dengan menyayangi diri sendiri" (halaman 272).

Sebuah penanda atau catatan bagi penulis untuk memberikan (minimal) teladan yang baik. Sebab pembaca biasanya menajadikan idolanya sebagai panutan. Begitu pula degan Fiersa yang telah naik daun dengan karya-karyanya. Sebab, dalam Arah Langkah Fiersa menuliskan kebiasaannya minum-minuman keras hingga mabuk dan bicara ngawur, sempat pula menghisap ganja, atau hal lain yang barangkali peresensi tidak begitu memahami.

Selebihnya, saya terkesima dengan pemikiran Fiersa yang begitu detail menangkap aksara dari tiap apa yang dipandangnya. Menikmati suasanya pantai, memotret bintang-bintang, atau hanya sekadar membanyangkan seandainya Malin Kundang itu adalah dirinya. Perilaku abstrak semacam ini saya rasa tidak semua orang bisa memaknainya. Tapi dengan menuliskannya seperti aliran air yang mengalir, Fiersa menancapkan tiap diksi menjadi pesan moral yang tidak cuma-cuma, namun berharga.

Berbicara tentang petualangan hingga harus berpisah dengan teman-temannya, disebabkan Pram yang kehabisan uang saku, hingga Baduy yang juga harus kembali karena alasan bahwa ibunya sedang sakit, merupakan ujian bagi Fiersa untuk memilih melanjutkan atau menghentikan langkah. Inilah yang dinanti-nanti dalam buku ini.

Petualangan Fiersa bukan sekadar pelampiasan atas rasa sakit akibat disakiti oleh kekasihnya. Namun di sisi lain, ia mendapatkan begitu banyak pengalaman berharga yang semakin mendewasakan dirinya. Berpetualang, hingga berangan akan sampai ke Raja Ampat dengan janji akan membuat rambutnya terpangkas habis jika dirinya sampai menginjakkan kaki di sana.

Bukan itu saja, pembaca akan menemukan bagaimana penulis bertemu dengan orang-orang asing yang sempat menjadi keluaga, menjadi bahan renungan, juga (pernah)menjadi bahan alasan untuk menjadi penakut. Mulai dari pertemuannya dengan Iwal dan kawan-kawan di Bawomataluo, Erlita yang ingin menjadi penyanyi, hingga anak-anak Pelabuhan Sibolga yang mendefinisikan kebahagiaan dengan bermain di dalam air. Begitu pula dengan perjumpaannya di sebuah penginapan serupa rumah hantu dengan seorang bapak tua yang tiba-tiba pergi dengan hanya meninggalkan uang sewa dan ikan yang bececeran di lantai yang diduga dimakan tuyul, hingga perjalanannya sampai ke Pulau Samosir, juga merelakan ukulele kesayangan demi membahagiakan kawan.

Yang banyak memberikan cerita, ketika menginap bersama teman-teman Mapala Pah'yaga'an, mendaki gunung, menyelam, hingga ditinggal kawan dan merasa sendirian. Tapi tidak. Fiersa menuliskan:

Suasana ini, gelak tawa ini, esensi ini, orang-orang ini menyadarkanku bahwa aku takkan pernah merasa sendirian. Mungkin aku kehilangan makna "pulang" karena memang aku tidak pernah pergi. Di negeri ini, di mana pun aku berada, adalah rumah (halaman 285).

Judul buku       : Arah Langkah
Penulis               : Fiersa Besari
Penerbit            : Mediakita
Jumlah hlm     : iv + 300
Tahun terbit   : 2018
ISBN                    : 978-979-794-561-9

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun