Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Guru - M Musa Hasyim

Guru PPKn yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lelaki Malam

8 Januari 2020   14:50 Diperbarui: 8 Januari 2020   23:17 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang itu, sudah beberapa kali ia salat Duha, Zuhur dan Asar seorang diri. Suaminya akan bangun ketika azan magrib berkumandang. Lalu pergi pamit dengannya, katanya mencari rezeki Allah. Ketika ditanya kerja apa, suaminya selalu menjawab kerja di rumah Allah, Allah yang menggajinya. 

Munaroh berpikir kalau suaminya kerja sebagai marbut lalu mendapat gaji di sana atau mungkin menjadi satpam di rumah zakat. Entahlah! Berkali-kali ia tidak pernah menyimpan prasangka buruk apapun terhadap suaminya. Ia ingin menjadi istri yang taat pada suaminya tanpa berpikir yang aneh-aneh.

Setiap pagi, suaminya datang membawa makanan lezat dan berbagai perabot rumah tangga. Sudah sebulan lamanya, suaminya seperti itu. Dulu, gaji sebagai OB tidak mungkin akan bisa membeli makanan selezat itu apalagi membeli perabot rumah tangga yang mahal. Untuk makan saja, dulu, mereka hanya makan nasi dengan lauk pauk ala kadarnya. Lama-kelamaan Munaroh curiga juga dengan pekerjaan sang suami. Namun ketika ditanya, lagi-lagi suaminya menjawab jawaban yang sama.

"Ini rezeki dari Allah. Jangan ditolak! Pamali! Aku kerja dengan Allah. Allah yang menggaji saya hingga bisa membeli ini semua," begitu jawaban yang akan muncul di mulut sang suami.

"Tapi kerja apa? OB juga kerja dengan Allah kalau diniati ibadah, menjalankan perintah Allah. Lebih spesifik kerja apa? Jangan ada dusta di antara kita, Mas." Kali ini Munaroh seperti kehabisan amunisi kesabaran tapi masih bisa menjaga diri agar tidak membanting piring plastik atau menampar pipi sang suami meski sebenarnya tangan itu sudah sangat gatal untuk menampar pipinya.

Namun lagi-lagi suaminya tidak memberikan jawaban yang memuaskan.

Setiap malam Munaroh melakukan salat Malam. Ia selalu berdoa agar suaminya selalu diberkati oleh Allah. Apapun pekerjaannya, semoga saja suaminya mendapatkan rezeki yang halal. Begitu doa yang kini menjadi andalan Munaroh setiap malam meski kesepian. Ia benar-benar rindu melahap cinta seperti dulu.

Dulu, setiap malam mereka selalu melaksanakan salat Malam dengan berjemaah. Tapi setelah suaminya dipecat dari pekerjaan lamanya sebagai OB, Munaroh selalu sendirian di malam hari. Ia ingin melahap cinta seperti dulu, setiap malam, meski sampai kini mereka tidak dikaruniai seorang anak bukan berarti mereka juga harus berhenti berusaha. Siapa tahu di usianya yang menginjak kepala empat, Allah akan memberikan anak meski sangat kecil kemungkinannya. Siapa tahu.

Kini ia mulai menduga hal yang tidak-tidak. Padahal ia sudah berjanji tidak akan berprasangka buruk terhadap suaminya.

"Jangan-jangan, Mas Parman kawin lagi diam-diam, menyembunyikan istrinya yang kaya atau dia sebenarnya gay yang cinta sesama jeruk. Astaghfirullah! Aku harus mencari tahu. Malam ini juga!"

Dengan prasangka buruk pertamanya itu, Munaroh mencari sosok suaminya. Ia berkeliling ke setiap sudut pusat kota, malam-malam sendirian. Padahal kota sangat mengerikan di malam hari namun demi mencari kebenaran dari sang suami, ia rela dihantui pemerkosa-pemerkosa malam. Apalagi kemarin malam ditemukan sosok wanita meninggal dunia di tong sampah dengan tubuh telanjang. Namun ketakutan-ketakutan itu tidak menjadi masalah buat Munaroh selama ia bertujuan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun