Mohon tunggu...
Penaku
Penaku Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak-anak Pelosok Negeri

Menulis adalah Bekerja untuk keabadian. Awas namamu akan abadi dalam tulisannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terimakasih untuk Rumah Nyaman-Mu (3)

14 Agustus 2022   19:25 Diperbarui: 14 Agustus 2022   19:39 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jimiardi. Gambar dokumentasi pribadi

Pagi menyapa, mata terbelalak saat melihat panorama didepan sana,,

"Maaasya Allah" batinku. 

Nikmat seperti apa lagi yang mesti dicari, kalau bangun pagi, udah ada suguhan kopi, duduk di teras menikmati hamparan hijau di depan sana, membiarkan diri untuk terhentak dari embusan udara pagi. 

Udara disini terbilang masih asri. Belum terkontaminasi dari asap-asap polusi industri. Meskipun ini masuk jalur Provinsi menuju Sulawesi Tengah, tapi tidak sepadat yang kami kira, atau mungkin ini masih terlalu pagi ? Entah. 

Lahan Sawah. Di kampung ku sendiri tak ada sawah. keluarga Elis punya berpetak-petak sawah di depan sana. Tetapi kali ini belum ditanami. Masih menunggu musim yang pas sepertinya.

"Lis, itu di depan sana, kebun sawahmu ya?" Tanyaku di sela kepulan. 

"Iya, tapi hanya pada bagian depan ini, sebagian milik orang lain juga, disana ada tambak udang, milik kami juga". Jawabnya seperti biasa dengan lirih. 

Kakak himpunan ku seperti biasa, intens menatap gaway. Apalagi kalau bukan bikin insta story. Fotoin secangkir kopi, dengan latar belakang hamparan yang indah itu, dengan caption puitis ala muda-mudi ya kan, hehe.

Mentari semakin mendaki. Satu jam untuk bercerita dan berbagi inspirasi rasanya sudah cukup. Sarapan pula telah selesai. Elis sesungguhnya telah menjadi tuan rumah yang memperlakukan kami selayaknya Raja. Gadis ini selalu buat penasaran jadinya. Jangan lupakan senyum itu, intuisi ku tertuju kepadanya. 

"Terimakasih untuk rumah nyaman mu Elis."

Anak-anak sekolah telah hilir dari jalan. Ponakan elis, juga berangkat ke sekolah. Dengan seragam olahraga yang luar biasa elok rupanya. Sudahlah! Keturunan gadis Bugis memang cantik-cantik. Berpikir sematang mungkin kalau mau cari pasangan hidup dari keturunan suku ini. Selain tangung jawab kehidupan yang besar, uang panainya juga besar. Hehe. 

Saatnya kami harus segera pergi. Pada Kecamatan Pomaala titiknya. Berjarak 40 Km dari rumah elis. Lumayan menguras tenaga, hampir satu jam untuk tiba ke sana. 

Kami bergegas mengemasi barang-barang. Setalah sarapan dan bincang-bincang sejenak, tak lupa kami mencium dan salaman kepada ibunya elis , berkat menyediakan kami tempat istirahat yang nyaman. Untuk bapak dari elis kami tidak sempat lihat. 

"Kalau bapakku, shubuh-shubuh dia sudah keluar rumah, kalian tidak akan lihat". Begitulah penuturan elis. 

Perjalanan akan selalu terkesan. Lawatan, perkelanaan, hingga pada iring-iringan mengunjungi suatu tempat merupakan cerita yang selalu menarik hati. Engkau tidak tahu persis kepada siapa bertemu hari ini, esok dan seterusnya. 

Kita suka bepergian. Berangkat dari satu titik ke tempat yang lain. Meskipun juga pada akhirnya kita pergi untuk kembali lagi. 

Aroma cengkeh menyengat. Sebuah dusun dan kelurahan dengan rumah yang tidak berdempetan. Sekeliling jalan ada banyak tanaman cengkeh warga yang tumbuh di belakang rumah. Dari jarak apapun bisa menjadi alat untuk merelaksasi mata atau pemuasan jiwa bagi perokok. 

Motor melaju dengan maps sebagai penuntutnya. Kali ini saya yang mengemudikan motor, tiba giliran juga. Sebenarnya tidak terlalu susah akses menuju ke sana. Tinggal susuri area pinggiran laut, sesuai pula dengan penuturan keluarga elis tadi. 

Pada akhirnya kami tiba sesuai titik di Dasi-Dasi kec. Pomaala. Semerbak laut tercium dengan kuat, kawasan Wajo barangkali. Sebagai permulaan pertama mencari kantor kelurahan ini. 

Ketua himpunan ku ini pasti sibuk-sibuknya bertanya, mencari, dan lain sebagainya. karena ini tempat tugasnya. Bahkan kepala lurahnya dikirimi pesan via WhatsApp setelah mendapat kontaknya dari staf di kelurahan. 

Jum'at siang. Ternyata situasi yang kami alami serba sulit. Kadang-kadang juga pelik. Untuk mendapatkan legalitas saja rumit. Seperti tanda tangan dan cap stempel lurah. 

Ada pemandangan menarik. Terjadi interaksi yang cukup unik antara jimin dan kepala lurah Dasi-Dasi. Semua itu terjadi tekanan psikologis itu muncul. Kata-kata dewasa, berwibawa, dan aura seorang pemimpin menjadikan pola komunikasi sepihak yang sedikit canggung. 

"Santai saja, jangan terlalu tegang, jadi pekerjaan survei itu menantang dan bertemu dengan banyak karakter". Ucap lurah itu kepada jimin. 

Sementara itu kakak himpunan ku dengan suara yang agak serak, tangannya memegang fulpen juga gemetar. Ini pengaruh lapar atau mantra-mantra. Tapi jelas sekali sedari perjumpaan. Situasi tak begitu kondusif. Lagi-lagi kami menerima deraan. 

Setelah bertemu lurah selanjutnya kami di arahkan untuk bertemu ibu RT 2 guna kepentingan data penduduk. Sosok perempuan paru baya ini memiliki daya ingat yang luar biasa. Urutan nama KK saja ujung pukul ujung beliau ketahui namanya persis juga dengan letak rumahnya. Setelah berbagai kesan dan cerita beberapa saat, gemuruh Sholawat sudah nampak bersahut-sahutan. 

Setelah proses legalitas kami dapatkan seiring juga kumandang sholat Jum'at. Hari yang begitu sakral. Seandainya manusia mengetahui hakikat dari pada hari ini. Maka gunung, lembah, hutan, dan hamparan samudra sekalipun, kalah saing dengan gemuruh tangisan manusia yang gentar.  

Sesungguhnya kehancuran alam semesta itu terjadi pada hari Jum'at. Manusia di ciptakan pada hari Jum'at dan dibangkitkan juga di hari itu. Wajar kalau hamba-hamba yang masih memiliki sedikit keimanan, berbondong-bondong menghamba kepada Tuhan pencipta alam. 

Siang terik matahari pesisir. Peluh bercucuran terkena sengatan mentari. Begitu hebatnya perjalanan kita sahabat, kita selalu terhenyak dengan kondisi yang tiba-tiba. Misi ada di depan mata, lelahnya kita hari ini adalah pengalaman dan pembelajaran berharga ketika beranjak semakin dewasa nanti. 

Siapa yang tidak kenal dengan mahasiswa. Orang tamatan sekolah dasar pun tahu keberadaan insan akademis dan aktivis ini. Terbukti beberapa kali kami dikiranya mahasiswa yang lagi penelitian. Bawa-bawa berkas dan kartu identitas saja tetap dikirain mahasiswa.

"Eh, kalian mahasiswa dari mana, dan ini penelitian kalian ya?". Tanya salah satu anggota keluarga yang kami wawancarai. Kami jelaskan dengan sebaik mungkin maksud dan tujuan kami. 

Kami dari tim survei politik pak,, bla bla....." Terang kami jelaskan. 

Ya, masih banyak sih yang apatis dengan politik. Sudah terlalu dibikin linglung dengan janji politisi. Kapan kiranya bangsa ini punya pemimpin yang berani mempertanggungjawabkan janji-janjinya. 

Jangankan wakil presidennya, gubernurnya pun tidak diketahui tahu siapa namanya dan dari partai apa. Sebagian masyarakat memang tidak terlalu perduli dengan ranah politik. Yang penting mereka masih bisa hidup dengan nyaman dan sejahtera. 

Setelah proses wawancara selesai, bukan selesai sih, tapi beberapa sampel kami dapatkan, barulah kami istirahat seiring dengan senja yang perlahan datang. Situasi disini padatnya bukan main. Siang tak ada yang kelihatan, sore banyak aktivitas hiruk-pikuk warga. 

Rasa-rasanya hari ini tidaklah cukup untuk menuntaskan tugas survei ini. Esok hari perlu untuk di gencarkan Kembali. Karena ini sudah Maghrib lagi, maka kita jeda dulu. 

Beristirahatlah ketika engkau lelah. Siang yang buatmu penat seharusnya membuat mu tertidur di malam yang panjang. Tapi ini tidak instan seperti selonjoran di rumah sendiri. Kamu berada di tempat yang jauh dan pusing hendak kemana untuk melepas rasa capek. 

Maka tiada pilihan lain selain masjid. Rumah ibadah umat Islam yang tak pernah menolak musafir untuk singgah sejenak. Kekhawatiran itu pasti muncul. "Tidak mengapa kh ini far, kita tidur di masjid?" Tanya jimin. 

"Banyak yang tidur di masjid bang, apalagi kita ini sebagai orang luar daerah, Insya Allah nda masalah". Kataku. 

Malam yang dingin. Setelah tanah menahan beban manusia yang luar biasa beratnya, hujan menjadi penyejuk dahaga. Hujan membumi di bulan juli akhir. Sekalipun hanya bertegur sapa, tapi cukup untuk membasahi raga ini. 

Mengingat terlalu jauh untuk kembali ke rumah elis, maka bukan berarti kami tidak berupaya untuk mencari tempat peristirahatan. Dari kontak-kontak teman, cari sekretariat komunitas Pergerakan, dan lain sebaginya. Namun nihil. Belum ada tanda-tanda. 

Pada akhirnya sebelum keputusan itu bulat untuk menginap di masjid, ada salah satu kawan yang menyarankan untuk pergi ke rumah tiwi, salah satu mahasiswa Jurnalistik juga, yang kabarnya tinggal di area kolaka. Namanya Tiwi, perempuan berkacamata kalau ke kampus, sempat dekat juga dengan ketua himpunan. 

Kamu di mana tiwi? Chatku membuka. 

"Kolaka besti. Way?"

Bagian mana, kami di kolaka ini,,,

"Eh, dibagian mana, sini datang di rumah,"

Setelah beberapa saat, kami dikirimkan lokasinya dan segera meluncur ke TKP. Kendati pun jauh tapi ya, mau gimana lagi. Ini sudah pilihan paling baik. Selalu ada jalan ternyaman untuk kita beristirahat. 

Hampir setengah jam kami sampai di Kediaman Tiwi. Disini suasananya juga hening meskipun masuk wilayah kota. 

Berlanjut,,,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun