Mohon tunggu...
Penaku
Penaku Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak-anak Pelosok Negeri

Menulis adalah Bekerja untuk keabadian. Awas namamu akan abadi dalam tulisannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terimakasih untuk Rumah Nyaman-Mu (3)

14 Agustus 2022   19:25 Diperbarui: 14 Agustus 2022   19:39 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jimiardi. Gambar dokumentasi pribadi

Jangankan wakil presidennya, gubernurnya pun tidak diketahui tahu siapa namanya dan dari partai apa. Sebagian masyarakat memang tidak terlalu perduli dengan ranah politik. Yang penting mereka masih bisa hidup dengan nyaman dan sejahtera. 

Setelah proses wawancara selesai, bukan selesai sih, tapi beberapa sampel kami dapatkan, barulah kami istirahat seiring dengan senja yang perlahan datang. Situasi disini padatnya bukan main. Siang tak ada yang kelihatan, sore banyak aktivitas hiruk-pikuk warga. 

Rasa-rasanya hari ini tidaklah cukup untuk menuntaskan tugas survei ini. Esok hari perlu untuk di gencarkan Kembali. Karena ini sudah Maghrib lagi, maka kita jeda dulu. 

Beristirahatlah ketika engkau lelah. Siang yang buatmu penat seharusnya membuat mu tertidur di malam yang panjang. Tapi ini tidak instan seperti selonjoran di rumah sendiri. Kamu berada di tempat yang jauh dan pusing hendak kemana untuk melepas rasa capek. 

Maka tiada pilihan lain selain masjid. Rumah ibadah umat Islam yang tak pernah menolak musafir untuk singgah sejenak. Kekhawatiran itu pasti muncul. "Tidak mengapa kh ini far, kita tidur di masjid?" Tanya jimin. 

"Banyak yang tidur di masjid bang, apalagi kita ini sebagai orang luar daerah, Insya Allah nda masalah". Kataku. 

Malam yang dingin. Setelah tanah menahan beban manusia yang luar biasa beratnya, hujan menjadi penyejuk dahaga. Hujan membumi di bulan juli akhir. Sekalipun hanya bertegur sapa, tapi cukup untuk membasahi raga ini. 

Mengingat terlalu jauh untuk kembali ke rumah elis, maka bukan berarti kami tidak berupaya untuk mencari tempat peristirahatan. Dari kontak-kontak teman, cari sekretariat komunitas Pergerakan, dan lain sebaginya. Namun nihil. Belum ada tanda-tanda. 

Pada akhirnya sebelum keputusan itu bulat untuk menginap di masjid, ada salah satu kawan yang menyarankan untuk pergi ke rumah tiwi, salah satu mahasiswa Jurnalistik juga, yang kabarnya tinggal di area kolaka. Namanya Tiwi, perempuan berkacamata kalau ke kampus, sempat dekat juga dengan ketua himpunan. 

Kamu di mana tiwi? Chatku membuka. 

"Kolaka besti. Way?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun