Dir SDM berhenti sejenak, mengamati reaksi tiga pegawainya. Tidak ada reaksi, belum ada perubahan wajah, hanya sunyi di ruangan itu.
" namun yang menjadi ganjalan kami Direksi ... adalah Deni , yang tidak lulus Master nya di Belanda"
Sekali lagi Direktur berhenti bicara, menunggu reaksi. Tiba tiba Topo angkat bicara,
" Pak Direktur, ijin kami ingin menjelaskan perihal ketidak lulusan Deni di Belanda "
Direktur mempersilakan.
Topo menjelaskan, di tahun pertama kuliah di Belanda, Deni sangat antusias belajar , dan nilai nilai hasil ujiannya bahkan sangat bagus. Kemudian, di semester ketiga terjadi perubahan drastis, Deni mengalami kemunduran emosional. Deni menerima kabar kalau ibunya sakit keras di Tanah Air, dan dirawat di Rumah Sakit.
Deni berniat kembali ke Jakarta untuk membezoek ibunya, namun kakaknya di Jakarta mencegahnya, memberi tahu kalau Ibunya sudah ditangani, mudah mudahan segera sehat kembali.
Sampai akhirnya seminggu kemudian, Deni mendapat kabar kalau ibunya wafat di Rumah Sakit. Mendengar berita itu, Deni sangat terpukul, menyesali diri amat sangat. Hantaman rasa bersalah itu berdampak fatal, motivasi belajar Deni merosot drastis.
Teman temannya dan Helen, pacarnya tidak mampu juga membangkitkan kembali fighting spirit Deni. Deni nglokro berkepanjangan, seolah ingin menghukum diri. Akhirnya Deni gagal di semester tiga, terlalu banyak nilai tidak lulusnya. Bahkan Deni tidak diperbolehkan mengambil ujian ulangan, karena lebih dari lima puluh prosen mata kuliah yang ditempuh tidak lulus.
Deni harus pulang kembali ke tanah air dengan perasaan tawar, tidak percaya, tapi sudah menduga.
Deni tidak lulus.
            Bersambung