Mohon tunggu...
Gigih Mulyono
Gigih Mulyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Musik

Wiraswasta. Intgr, mulygigih5635

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hembusan Angin Cemara Tujuh 15

20 Mei 2018   05:22 Diperbarui: 20 Mei 2018   05:28 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Leluhur kita adalah para pejuang yang gigih, tabah dan tahan menderita , berani bergerilya melawan Belanda " ujar ibu Sutopo mencoba menjelaskan siapa leluhurnya, yang konon adalah pengikut dekat Pangeran Diponegoro.

" Keinginanmu kembali ke Yogya itu menunjukkan kelemahanmu, kamu pasti menemui kesulitan kesulitan kecil di Jakarta. Kamu tidak  berusaha untuk menghadapi tantangan itu, tetapi malah tergesa gesa ingin melarikan diri, mencari tempat yang nyaman, aku tidak setuju itu, Anak anakku harus tegar dan bersahabat dengan segala masalah . Karena seberapa besarpun dan rumitnya  masalah itu selalu ada jalan keluarnya . Topo, kalau kamu masih mau mendengar pendapat ibumu, kamu harus jauh dari orang tuamu, dari keluarga besarmu. Kamu harus menjadi kuat dan tumbuh melewati dan mengatasi kesulitan, luka dan kecewa".

Sutopo tunduk tak kuasa bicara, matanya berkaca kaca. Mendengar Ibunya berujar seperti Hakim yang siap mengetok palu. Tidak pernah Ibunya bicara sepanjang itu, dan kelihatannya masih belum mau berhenti.

Hening sejenak, angin bertiup mengelus pepohonan rindang tinggi di sekitar rumah , mengiringi perjalanan Mentari yang semakin memancar hangat.

" Kamu harus melepaskan warisan pemikiran dari orang orang tua kita, pemikiran mangan Ora mangan asal ngumpul, pemikiran rumpun pisang gedebok yang dikerumuni anak2nya yang tumbuh disekitarnya, ragamu harus jauh dari keluarga besarmu, baru engkau lebih kuat dan lebih memahami arti bertanggung jawab"

Ibunya berhenti sejenak, bapaknya hanya diam tidak memotong kata kata ibunya, hanya mendengarkan.

" Tapi terserah kamu Po, kamu sudah 24 tahun sudah dewasa, ibumu hanya memberi saran." Ibunya mengakhiri pembicaraan.

Sutopo belum mampu berkata kata, jeda panjang , hanya suara burung prenjak mengisi kekosongan selasar dan halaman dalam rumah itu.

" ya bu, dalem akan memikirkan itu, dan ijin saya akan siap siap" akhirnya Sutopo bisa berujar dan lengser masuk ke kamarnya.

Sutopo membanting keras tubuhnya di pembaringan. Telentang, Wajahnya menatap nanar genting kehitaman dibalik usuk kayu di kamarnya.  Ibunya tadi tidak memberi saran, tapi memaksa, batin Sutopo. Pandangan ibunya itu anomali tidak seperti layaknya pemikiran orang orang di desanya , yang selalu menginginkan berdekatan dengan saudara saudaranya, anak anaknya.

Apakah ibunya kerasukan?

Tapi tidak, Sutopo membantah dirinya sendiri . Ibunya pasti tidak kerasukan. Sutopo mengingat sepotong kenangan masa lalu bersama ibunya.

Walaupun ibunya hanya perempuan desa lulusan SR ( Sekolah Rakyat ) namun cara bertindak dan pemikirannya rasional. Dan pada saatnya yang diperlukan bisa menjadi panglima keluarga yang tangguh.

Sutopo mengenang masa masa sulit Republik ini di kala dirinya masih kecil.

Waktu itu barang dagangan bapaknya berupa mori yang dimuat truk kecil, disita oleh oknum entah siapa, di jalan raya. Mori itu adalah dagangan untuk supply pengusaha Batik di Solo dan Tenun Pedan. Oknum itu menyatakan, orang tidak boleh memiliki dagangan terlalu banyak. Bapaknya tidak berdaya, barang disita tanpa juntrungan yang jelas.

Diurus kemana mana tidak berhasil, bapaknya frustrasi dan panik, lantaran dagangan itu dibeli dari uang hasil hutang. Harus diangsur, bayar bunga dan juga harus ada penghasilan untuk biaya sekolah dua kakak Sutopo di rantau.

Saat bapaknya mulai melirik lirik Sonji sonji (rumusan ramalan ) nomor Nalo ( Nasional Lotere ) yang tidak jelas, ibunya mengambil inisiatif untuk mengeluarkan dan membersihkan Singer, mesin jahit tuanya, dan membuka jasa jahitan.

Sutopo ingat, membantu ibunya setiap pulang dari sekolah, menggelesot di lantai, memasang kancing atau hal lain yang bisa dikerjakan dengan arahan ibunya.

Selalu, ibunya menjahit sambil mendengarkan siaran pendengar RRI Surakarta atau Yogyakarta dari Radio Transistor Philip antik di emperan rumahnya.

Siang siang yang mulai meredup, sambil mengayuh Singer dengan terampil, ibunya juga menghayati alunan suara Tetty Kadi, Lilis Suryani, Ernie Johan, Titiek Puspa, Titek Sandhora dan Muchsin, juga langgam Waljinah dari Radio. Sutopo jadi ikut mengenal lagu lagunya, dan kenal warna warna suara setiap penyanyi itu.

Usaha jahit itu menjadi tulang punggung keluarga. Usaha yang riil dan memang dibutuhkan. Itu berkat inisiatif dan langkah nyata ibunya.

Jadi tidak, ibunya pasti tidak kerasukan dan hanya sekedar emosional. Ibunya adalah wanita sederhana yang cerdas dan bagian dari generasi pendengar Radio yang menyiarkan Orasi orasi , dialog dialog dan juga Sandiwara sandiwara Radio yang membuka wawasan dan mencerdaskan. Dan ibunya adalah seorang pembelajar yang terbuka pikirannya.

Sutopo mencoba memahami ujaran ibunya, tidak mau menghakimi.

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun