Mohon tunggu...
Mulyadi Adi
Mulyadi Adi Mohon Tunggu... Wirasawasta

Pengamat politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hukum mati koruptor itu hanya ucapan pelaku yg blm dapat kesempatan.

26 Agustus 2025   14:45 Diperbarui: 26 Agustus 2025   14:45 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negeri ini, setiap kali ada koruptor tertangkap, suara-suara di ruang publik mendadak lantang: hukum mati, gantung di alun-alun, siksa seumur hidup! Seruan itu terdengar seperti letupan amarah moral yang suci, seolah-olah rakyat yang berteriak tak pernah sekalipun mencium aroma serakah.

Tapi mari kita jujur sebentar. Banyak dari mereka yang paling keras berteriak anti korupsi sebenarnya hanya sedang iri. Iri karena mereka tidak punya jabatan, tidak punya akses, tidak punya kesempatan untuk ikut mencicipi uang negara yang ditilep.

Cobalah kalau posisi mereka ditukar: diberi tanda tangan basah yang bisa melancarkan proyek miliaran, diberi akses anggaran triliunan apakah benar mereka tetap bersih? Atau justru lebih rakus, lebih serakah, dan lebih culas daripada para koruptor yang sekarang duduk di jeruji besi?

Fenomena ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang mengutuk koruptor di televisi sering kali orang yang sama yang tak segan-segan menyuap polisi di jalan demi lolos tilang. Yang lantang berteriak "Hukum mati koruptor!" sering juga yang dulu waktu bikin KTP rela selipkan uang di map agar urusannya cepat selesai.

 Inilah wajah hipokrisi bangsa: membenci korupsi ketika tidak dapat bagian, tetapi dengan ringan hati ikut-ikutan ketika ada celah kecil untuk mencicipinya.

Jangan salah, saya tidak sedang membela koruptor. Mereka tetap maling, tetap biadab, tetap pengkhianat publik. Tapi kalau kita mau jujur, sebetulnya banyak rakyat kita yang hanya "koruptor gagal"  gagal karena tidak punya akses, gagal karena tidak kebagian kursi, gagal karena tidak punya posisi. Bukan gagal karena hati mereka lebih bersih.

Itulah mengapa teriakan anti korupsi kita sering terasa kosong. Kita marah bukan karena bangsa ini dicuri, tapi karena kita tidak ikut kebagian hasil curian itu. Andai suatu hari kesempatan itu datang, mungkin kita akan jauh lebih brutal daripada koruptor yang kita benci hari ini.

Pada akhirnya, korupsi bukan sekadar soal pejabat yang serakah, tapi juga soal rakyat yang diam-diam menyimpan nafsu serakah yang sama. Jadi sebelum berteriak hukum mati koruptor, barangkali lebih jujur kalau kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita membenci korupsi, atau hanya membenci kenyataan bahwa kita tak pernah diberi kesempatan untuk ikut melakukannya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun