JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan bersejarah yang secara fundamental mengubah lanskap perpajakan di Indonesia, terutama bagi industri yang harganya diatur oleh negara. Dalam putusan final dan mengikat Perkara Nomor 188/PUU-XXII/2024, Mahkamah secara tegas menyatakan bahwa komponen "Biaya Transportasi"---selisih harga dalam Harga Eceran Tertinggi (HET) LPG 3 kg yang ditetapkan melalui Keputusan kepala daerah---bukanlah objek Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Putusan ini menjadi kemenangan substantif bagi para pelaku usaha, sekaligus menjadi koreksi keras terhadap kebijakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang selama ini memungut pajak atas komponen tersebut.
Kemenangan di Balik Penolakan Formal
Meskipun amar putusan MK secara formal menolak permohonan yang diajukan para agen LPG, kemenangan sesungguhnya terletak pada pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang menjadi landasan putusan. Dalam sistem hukum Indonesia, pertimbangan ini memiliki kekuatan hukum yang sama mengikatnya dengan vonis akhir.
Mahkamah menegaskan bahwa pajak hanya boleh dipungut berdasarkan Undang-Undang yang dibuat oleh DPR, sesuai amanat Pasal 23A UUD 1945. Sementara itu, Biaya Transportasi LPG 3 kg lahir dari Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota, yang merupakan produk hukum administratif, bukan Undang-Undang.
"Pengaturan HET LPG 3 kg oleh kepala daerah tidak memiliki kaitan, baik secara formal maupun substansial, dengan ketentuan PPh... Oleh karena itu, HET tidak dapat dijadikan dasar pemajakkan," demikian salah satu kutipan kunci dari pertimbangan Mahkamah -Vide hlm. 253- 254.
Dengan kata lain, Mahkamah menyatakan bahwa DJP telah keliru menerapkan hukum dengan memajaki sesuatu yang secara konstitusional tidak dapat dipajaki.
Tantangan Besar bagi Pemerintah
Putusan ini menjadi tantangan serius bagi Kementerian Keuangan dan DJP. Pemerintah tidak mungkin serta-merta tunduk tanpa perlawanan, mengingat potensi hilangnya penerimaan negara dan preseden yang ditimbulkan.
"Kemenangan di Mahkamah Konstitusi ini adalah awal, bukan akhir, tantangan sebenarnya bagi pelaku usaha adalah mengawal agar putusan ini benar-benar dieksekusi di lapangan."
Berikut adalah tantangan dan potensi strategi "perlawanan" dari otoritas fiskal:
- Kepatuhan Minimalis dan Interpretasi Sempit: DJP dapat mengeluarkan peraturan internal, seperti Surat Edaran, yang menafsirkan putusan MK secara sangat sempit. Mereka bisa berargumen bahwa putusan ini hanya berlaku spesifik untuk "Biaya Transportasi LPG 3 kg" dan tidak untuk komponen serupa di industri lain. Ini adalah cara untuk membatasi "kerusakan" fiskal dan memaksa setiap industri lain untuk menempuh jalur hukum yang sama panjangnya.
- Inersia Birokrasi: Tantangan terbesar bagi pelaku usaha adalah kelambanan birokrasi. DJP bisa saja tidak segera menerbitkan aturan teknis untuk menindaklanjuti putusan MK. Tanpa instruksi yang jelas, kantor-kantor pajak di daerah akan tetap beroperasi berdasarkan pedoman lama, memaksa setiap Wajib Pajak untuk berjuang secara individual melalui proses keberatan dan banding yang memakan waktu dan biaya.
- Mengalihkan Fokus ke Prosedur: Menyadari kekalahan dari sisi substansi hukum, DJP kemungkinan akan memperketat pengawasan dari sisi prosedur. Dalam proses pengajuan pengembalian pajak (restitusi) oleh para agen, setiap kesalahan administrasi sekecil apa pun dapat dijadikan alasan untuk menolak atau menunda permohonan.