Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masantrenkeun Diri (Pesantren yang Sebenarnya Ada dalam Diri Masing-Masing)

26 September 2022   19:30 Diperbarui: 26 September 2022   19:44 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kata-kata nasihat ini pernah saya dengar dalam suatu kesempatan. Entah itu diobrolan warung kopi, entah itu dalam suatu pengajian, atau dalam momen perisahan pesantren. Yang jelas, mungkin dengan goresan tinta ini bisa menjadi bahan berpikir bersama. Setidaknya untuk menyimpan memori dalam diri saya.

Sekilas, apa kira-kira yang ada dalam benak teman sekalian ketika mendengar kata pesantren? Mungkin yang bisa saya tebak diantaranya ada masjid, kobong (kamar bagi santri dalam bahasa Sunda), asrama, kyai, santri, dan masih banyak lagi. Yang jelas, pesantren adalah suatu tempat dimana para santri atau pelajar disana diatur dan fokus mempelajari ilmu keagamaan.  

Pesantren adalah suatu tempat. Lalu bagaimana dengan menambahkan imbuhan me- sehingga menjadi memesantrenkan diri, atau dalam bahasa Sundanya masantrenkeun? Tentu saja akan ada perubahan makna.

Agar lebih penasaran, ingin Saya sampaikan dahulu bagaimana ungkapan yang mirip dengan ini dalam salah satu Syair dari pujangga India, Hazrat Inayat Khan:

Jadikan Tuhan Suatu Realitas

Kita membangun istana bagi raja, dimana raja harus tinggal

Ini bukan tubuhku, ini adalah kuil Tuhan, Ini bukan hatiku, ini adalah altar Tuhan

Memasukkan spiritualitas ke dalam kehidupan sehari-hari

Jadikan Tuhan suatu realitas

Maksud dari Sya'ir Inayat Khan tadi kurang lebih sebagai berikut:

Bait Pertama, Raja yang terhormat tentu membutuhkan tempat tinggal. Maka, agar Raja itu pantas dan mau untuk tinggal. Kita tentu akan membuat istana bagi raja sebagai tempat tinggal dan tempat ia akan memerintah rakyatnya dengan baik.

Bait kedua, sebagaimana kita membangun istana untuk raja. Maka agar Tuhan mau dan pantas untuk tinggal di dalam tubuh Kita. Jadikan Tubuh Kita ini kuil (masjid) sehingga Tuhan mau singgah di Tubuh Kita, hadir dalam kondisi pantas dalam kehidupan kita.

Begitu pula hati, jadikan ia altar (semacam tempat suci dalam peribadatan kristiani ataupun tempat persembahan dalam budaya Yunani Kuno). Sehingga Dia mau mengisi hati Kita, memandu ketersesatan melalui hati.

Bait ketiga, menjawab pertanyaan "bagaimana cara menjadikan tubuh sebagai Kuil Tuhan dan hati Altar Tuhan?". Yakni dengan menjalankan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari. Menjalankan ritual-ritual peribadatan seperti solat, puasa, sedekah, dan hal-hal kebaikan fisik lain yang Tuhan rela.

Lalu gara hati menjadi altar Tuhan. Yakni dengan membersihkan hati dari sangkaan-sangkaan buruk, menyakiti hati orang lain, pesimisme, dendam kesumat, dan hal-hal lain yang merupakan keburukan hati. Lalu menghiasi hati dengan sifat-sifat baik seperti empati, menyenangkan hati orang lain, berbahagia saat orang lain bahagia, dan kebaikan-kebaikan hati lain.

Bait ketiga, mempertegas bahwa Tuhan itu harus menjadi realitas. Allah itu harus benar-benar menjadi kenyataan. Bukan hanya sekedar obrolan ngaler ngidul di tongkrongan, menjadi bahasan berulang di masjid-masjid, menjadi kajian-kajian omong kosong dalam pengajian kitab suci, dan bentuk-bentuk imajinatif Allah lainnya. Allah terwujud dalam segala kegiatan-kegiatan baik sehari-hari, dunia maupun akhirat.

Kembali kepada istilah masantrenkeun diri maka Kita menjadikan pesantren dalam diri Kita. Sehingga kita layak disebut santri atau singkatnya layak disebut hamba Tuhan, 'abdullah. Dimana kita sering ingin disebut hamba Tuhan tapi mungkin Tuhan berkata "siapa elu".

Tak perlu lama berada di pondok pesantren, tidak setiap dari Kita memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi hamba Allah di pesantren, dan tidak perlu berada di pondok untuk menjadi hamba Allah yang baik. Kita "bangun" pesantren dalam diri Kita, sehingga dimanapun, kapanpun, dan dalam situasi apapun. Amal shalih, kedisiplinan, pengajian yang ada di pesantren selalu ada dalam diri Kita.

Tinggal di pesantren pun tidak menjamin menjadi insan yang baik, begitu pula sebaliknya. Bukannya akhir-akhir ini banyak terjadi kasus negatif di pesantren? Koreksi saya apabila salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun