Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Seandainya Kampus Guru Terbaik Ada di Papua

14 Juni 2018   07:45 Diperbarui: 14 Juni 2018   14:19 1817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Murid Kelas 1 SD YPK Pikpik Distrik Kramongmongga Papua Barat (dok. pribadi)

Tanpa komitmen serius dari pemerintah untuk fokus mencari solusi kesenjangan pendidikan, Bumi Cendrawasih tidak akan pernah bisa mengejar ketertinggalan. Hal paling penting diperhatikan, membangun Papua tidak bisa dilaksanakan secara parsial, harus terintegrasi dengan banyak bidang dengan memperhatikan apsek keberlanjutannya bagi kehidupan masyarakat Papua dan komunitas lokal secara keseluruhan.  

Kita bersyukur pemerintahan saat ini tengah berjuang membangun infrastruktur. Tapi ada yang bolong dari situ. Infratstruktur ini sebagian besar (mungkin) hanya menguntungkan sejumlah pihak yang ingin kepentingan ekonomi dan mega proyeknya berjalan dengan lancar tanpa hambatan tinggi-luar-biasa-nya biaya yang dikeluarkan karena isolasi gegorafis.

Sementara itu, generasi Papua tetap saja hanya bisa menjadi tenaga kasar dengan upah yang tidak seberapa. Atau dalam kasus lain, mereka menjadi ketergantungan terhadap dana-dana CSR (Corporate Social Responsibility) karena nyaris seluruh masyarakat yang berada di wilayah dampak perusahaan bukan tenaga terdidik dan terlatih.

Kita tidak bisa mengharapkan dampak langsung pembangunan fisik itu bagi majunya generasi bangsa di sana? Kita bisa bertanya, utamanya di daerah Papua pegunungan (Provinsi Papua dan Papua Barat), berapa banyak sekolah yang aktif dalam arti guru dan murid aktif masuk di sekolah? Sangat sedikit.

Jadi, kalau mau menyalahkan anak-anak Papua tentang keterbatasan mereka terhadap pengetahun dasar (baca-tulis,hitung), tentang hak-hak mereka sebagai warga negara, tentang sejarah para pendiri bangsa, tentang Aceh, itu salah besar.

Sebab, sejatinya, cuma sedikit sekolah yang aktif. Sedikit waktu yang mereka habiskan di sekolah, dan hanya segelintir pendidik yang mau datang setiap hari ke sekolah. Ya, bukan anak-anak yang salah.

Papua merupakan daerah dengan tingginya tingkat ketidakhadiran guru (abseenteism rate). Sangat banyak faktor yang turut berpengaruh, dan oleh karena itu butuh pemecahan yang bisa jadi berbeda-beda tiap tempat.

Tapi, masalah paling utama adalah, sumber daya manusia, tenaga guru. Mungkin sering kita melihat (bagi yang pernah mengintip kondisi di sana), sekolah-sekolah ada yang kosong kalau kita berkunjung. Itu karena kehadiran murid, sangat bergantung dari kehadiran para guru di sekolah.

Ya, Papua butuh banyaaak sekali guru. Guru sekaligus pendidik yang peduli dan sangat peduli murid dan lingkungan yang tempat ia mengabdi.

Peran Pemerintah SampaiSejauh Ini

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat 5 butir program afirmasi untuk kemajuan pendidikan pada daerah-daerah pinggiran. Berdasarkan penjelasan program, hanya 2 rencana program yang menyentuh Papua dan Papua Barat.

Diantaranya Sarjana Mendidik di Daerah 3T (SM3T) dan Guru Garis Depan (GGD). SM3T merupakan wadah pengabdian sarjana dari universitas berbasis keguruan (LPTK) untuk mewujudkan partisipasi pembangunan pendidikan di daerah 3T. Jangka waktunya singkat, setahun.

Sementara program GGD merupakan lanjutan dengan jangka yang lebih panjang (minimal 10 tahun) di daerah sasaran. Program ini (semoga berlangsung dengan baik) sudah berjalan selama dua tahun. 

Tahun pertama, 2016, sebanyak 798 guru dikirim ke 28 pemerintah kabupaten di empat provinsi. Periode berikutnya pada 2017, meningkat sejumlah kali lipat, tapi target bertambah. Sejumlah 6.296 guru GGD dikirim untuk 93 kabupaten di 28 provinsi.

Dari sini, nampak kita lihat bahwa fokus pemerintah terdistraksi. Tidak lagi concern sepenuhnya pada daerah timur, khususnya Papua dengan mempertimbangkan kekhasannya. Tahun pertama rata-rata sebaran guru GGD 200 per kabupaten, kemudian menurun drastis 70 pendidik tiap kabupaten.

Poin ini kita buar simplifikasi awal bahwa "belum ada" niat serius pemerintah untuk terjun berbasah-basah mengangkat dan mendidik generasi Papua secara khusus, utama pembenahan pendidikan dasar.

Padahal ketimpangan sangat jelas. Kita paham daerah lain pun memiliki kebutuhan yang sama terhadap guru. Tapi tidak kalah jauh seriusnya pada daerah Papua, utamanya di daerah pedalaman dan dataran tinggi Papua.

Ketimpangan Nyata di Depan Mata

Data Neraca Pendidikkan Daerah (NPD) Tahun 2017 yang disarikan dari data PDPSK, bahwa kualifikasi guru SD di Papua Barat dengan tingkat pendidikan setara S1 masih 63,9 persen. Tahun berikutnya jumlah tersebut meningkat sebanyak 70,2 persen. Sisanya yang 29,8 persen kualifikasinya di setara D2, SMA, atau bahkan di bawahnya. Itu menjadi pekerjaan sangat berat untuk membuat semua guru mendapatkan pendidikan yang layak.

Data NPD tersebut juga menunjukkan rasio guru PNS dan siswa itu 30 berbanding 1. Ini masih jauh kalau kita bandingkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dalam Pasal 17 yang menetapkan aturan di jenjang SD, rasio guru dan murid maksimal 20 berbanding 1. Papua kekurangan guru, itu jelas. Tapi Papua sangat kekurangan guru mau hadir memfungsikan kelas-kelas dan sekolah-sekolah yang dibangun.

Dalam ikhtisarnya, World Bank menjelaskan dengan gamblang daerah dataran tinggi Papua sangat membutuhkan pendidikan untuk menghadapi banyak tantangan ke depan. Tapi, sebagaimana banyak bukti yang nampak, begitu banyak sekolah yang tidak berfungsi dengan guru-guru yang hampir tidak pernah hadir di kelas.

Ketidakhadiran guru, kualifikasi guru, dan juga kegagalan pemerintah (pusat dan daerah) dalam mereformasi sistem dan metoda pendidikan saling berkelindan menciptakan calon pelanjut Papua yang minim akses ke pendidikan sehingga minim pengetahuan.

Hal yang buat miris bisa kita baca pada laporan Bobby Anderson. Konon Sekolah Tinggi Kegurun dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kristen Wamena di daerah pegunungan Kabupaten Jayawijaya --salah satu sekolah penghasil guru di Provinsi Papua- harus menyediakan waktu satu setengah tahun hanya untuk remedial intensif pengenalan aksara dan angka untuk semua calon mahasiswa sebelum memulai masa perkuliahan.

Padahal Kemenristekdikti pada tahun 2017 hanya menempatkan STKIP Kristen Wamena di posisi 84 dari 104 kampus yang dilakukan penilaian. Peringkat umumnya berada di posisi 2000 sekian. Ini ironi yang membuat miris.

Kondisi itu memperlihatkan dengan jelas bahwa Papua (dan sebenarnya juga beberapa tempat di Papua Barat) sangat timpang dari segi pendidikan. Pendidikan dasar lemah kualitasnya menyebebkan jenjang ke atasnya juga lemah. Sebaliknya, posisi jenjang pendidikan tinggi yang rapuh, lalu terjun ke institusi sekolah sebagai pendidik, pada akhirnya akan kembali juga pada output siswa yang dihasilkan. Tidak ada usainya. Ironi lingkaran tak ada ujung ini harus dipotong dan dibenahi dengan sejuta keseriusan.

Ada pengalaman yang bikin terenyuh ketika menjadi relawan guru selama setahun (2014-2015) di satu kabupaten di Papua Barat. Saya pernah dihadapkan pada masalah sekolah yang benar-benar minim. 

Waktu itu, saya datang diskusi dan berbagi praktik mengajar. SD ini berada paling pelosok dari distrik tempat saya mengabdi. Sekolah ini hanya memiliki 2 guru PNS untuk 6 kelas, Kepala Sekolah dan Guru Agama. Demi membantu KBM, Kepala Sekolah inisiatif mengangkat 3 guru sukarela dari kampung itu. Ketiga hanya lulusan tingkat menengah atas. Gedung perpustakaan memang dalam kondisi baru tapi tanpa buku sama sekali. yang terisi.

Tiga tahun setelahnya, saya ketemu lagi dengan Kepala Sekolah di Makassar. Saya tanya, apakah kakak guru yang tiga orang itu masih mengajar? Katanya iya. Saya tanya lagi, apakah permohonan guru PNS dikabulkan pemerintah? Jawabnya tidak. Sekali lagi: guru. Guru yang hadir mengajar di kelas meruapakan kunci agar pengetahuan dapat hadir di benak anak-anak Papua.

Semuanya bermuara pada bagaimana pemerintah menciptakan sumber daya manusia yang mampu mengelola pendidikan dengan manajemen yang baik dan efektif, guru yang selalu hadir di kelas dan mampu mengelola kelas dengan baik.

Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan di Papua

Peran dan inisiasi masyarakat tidak kita nafikan, juga, telah berperan sangat jauh dalam pendidikan. Di Papua Barat misalnya, yayasan dan inisiasi sekolah di prakarsai oleh YAPIS (Yayasan Pendidikan Islam), YPK (Yayasan Pendidikan Kristen), YPPK (Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik). Tiga yayasan itu juga menunjukkan tingginya toleransi kehidupan di Papua Barat. Sementara di Papua ada Yayasan Yasumat yang tenaga pendidiknya mengajar hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Yahukimo. Juga ada Narwastu, lembaga swadaya lain yang memberikan pelayanan pendidikan di Kabupaten Mamberamo Tengah.

Sekitar 3 juta masyarakat asli Papua berbicara dalam 250 bahasa yang berbeda, hidup dengan keunikan budaya masing-masing dan dengan kondisi geografis yang sangat beragam. Sebagai contoh, anak-anak suku Dani kesulitan menyerap pembelajaran di kelas-kelas awal karena menggunakan bahasa Indonesia, bukan dengan bahasa Dani. Baru setelah Yayasan Kristen Wamena (YKW) mengidentifikasi 1000 kata Indonesia yang familiar untuk penyusunan kurikulum yang dipadukan dengan bahasa Dani, anak-anak merespon dengan sangat positif dan lebih cepat menguasai pelajaran.

Kasus lain di Yahukimo juga mengisyarakatkan bahwa sebenarnya potensi dan semangat yang dimiliki anak-anak muda setempat begitu besar. Sebuah LSM yang bekerja di sana direkrut untuk menjadi asisten guru di daerah perkampungan yang minim guru. Meski semuanya merupakan tenaga sukarela, ternyata, dengan motivasi yang besar, mereka sangat rajin mengikuti pelatihan intensif selama empat minggu sebelum terjun ke lapangan. Mereka mengalami kemajuan yang sangat pesat dibandingkan sebelumnya. Padahal yang diajarkan hanyalah Matematika dan membaca. Kemajuan selama empat pekan tersebut, menurut Bobby Anderson, sangat berarti dibandingkan dengan empat tahun ketika mereka berada di sekolah dasar yang minim guru dan jam pelajaran.

Sukarelawan internasional juga turut membentuk banyak hal positif tentang pendidikan di Papua. Sekolah Ob Anggen merupakan satu contoh nyata. Mungkin sekolah ini merupakan yang terbaik di Papua, bahkan di kawasan Timur Indonesia. Sekolah ini berada di Distrik Bokondini yang tertua di Karubaga, Kabupaten Tolikara.

Dalam laman resminya, Ob Anggen yang dalam bahasa lokal berarti "buah yang bagus" menyebutkan bahwa mereka "provides excellent education to equip children for the global world through empowering families and engaging the community"

Anak-anak memperoleh pendidikan dengan metode yang sangat kreatif, disajikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (melalui pegajar asing), tanpa memaksa para murid meninggalkan bahasa lokal masing-masing.

Banyak yang mengira sekolah yang didirikan tahun 2007 ini membawa mimpi yang muluk-muluk. Tapi para pendidik yang juga sangat aktif membangun komunitas memang cukup gila untuk pada akhirnya menjadikan mimpi itu semakin nyata.

SD Negeri Bokondini yang meski pada awalnya memiliki bangunan paling lengkap dan memadai, hanya 100 meter terpisah, semua itu kalah jauh pamornya dengan sistem yang diciptakan Ob Anggen. Konon kabarnya sekolah itu akhirnya kini bangkrut, tinggal bangunan tanpa siswa karena anak-anak dan orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di Ob Anggen. Tanpa biaya sama sekali yang dikeluarkan oleh masyarakat.

Mengembangkan Sekolah Pusat Pendidikan Guru

Pada akhirnya, sekolah-sekolah yang bagus di Papua adalah yang didirikan dan dibangun dengan keinginan tulus para pengajar dan pendidik yang ada di dalamnya. Sekolah yang menjadikan komunitas dan kelokalan sebagai basis membangun pendidikan yang lebih baik.

Ironi ini tidak akan pernah tuntas jika selalu diselesaikan dengan program-program yang berjangka pendek dan tidak terintegrasi dengan khas keragaman budaya lokal. Program GGD sampai kapan mau terus berlanjut? Mengirimkan tenaga terlatih dari "Pulau Jawa" dan dari "Pulau Jauh" sama sekali tidak akan bisa menyentuh unsur proksimitas budaya, bahasa, kebiasaan, dan adat-istiadat.

Papua sampai kapan pun akan terus kekurangan guru bila tidak ada kerelaan pemerintah lokal dan pusat menerima kenyataan bahwa memang ada masalah yang harus diselesaikan bersama. Lebih penting lagi, Papua sampai kapan pun akan tidak bisa menjadi diri sendiri, tercerabut dari akarnya, jauh dari komunitas lokalnya sendiri bila tidak didekatkan sistem pendidikannya dengan konteks lokal.

Tantangan itu hanya bisa dijawab dengan menjadikan terdidiknya guru-guru lokal / anak-anak muda yang berdaya dengan kaki tangannya sendiri untuk berpartisipasi dalam membangun pendidikan. Tantangan itu kita jawab mulai dari Papua dan berangkat dari Papua sendiri. Harus ada Sekolah / Universitas terbaik yang khusus merupakan pusat pengembangan pendidikan, riset pendidikan sekaligus tempat mendidik calon pendidik yang mumpuni.

Kampus ini disiapkan menjadi wahana bagi calon guru wilayah di wilayah Papua dan Papua Barat. Kampus ini akan menjadikan basis praktik dan pengalaman sekolah-sekolah lokal terbaik di Papua sebagai bahan mengembangkan kurikulum dan modul. Pengajar merupakan guru yang telah melakukan praktik profesional (baik dari Indonesia maupun tenaga asing) yang kompeten di bidangnyam masing-masing.

Kampus ini, seperti insitusi lain yang fokus mencetak para guru, mempersiapkan para generasi terbaik Papua untuk menjadi pendidik dengan menuntaskan program kunci: Mengajar, Belajar, dan Kepemimpinan. Para calon guru ini disiapkan untuk menjadi digdaya di dalam kelas dan powerful sebagai pemimpin atau pengelola sekolah. Alumni kampus guru yang terpusat di Papua ini juga akan dilatih menjawab tantangan  kelokalan dalam pembelajaran dan segala dinamika tantang proses pembelajaran.

Kita percaya diri bahwa  kerjasama masyarakat Papua bersama pemerintah pusat yang tidak setengah-setengah akan jauh lebih berhasil daripada menerapkan pola pengiriman guru secara terus menerus.

Mungkin butuh biaya besar, dan waktu yang tidak sedikit untuk membangun budaya akademik di kampus guru Papua. Tapi itulah harga yang harus dibayar karena pemerintah kerap meninggalkan Papua dalam banyak hal. Hanya itu cara agar semua sekolah di Papua bisa "hidup lagi" dan "terlahir kembali" sebagaimana fungsinya: mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila Papua tetap saja seperti sekarang, sungguh mahal harganya dan besarnya malu yang harus kita tanggung sebagai sesama anak bangsa.

Semoga kelak bisa lahir institusi pendidikan guru yang lahir dari kolaborasi tangan-tangan para perencana pendidikan lokal, pemerintah, dan swasta. Harapannya semoga nanti akan banyak lahir pendidik berkompeten dari masyarakat Papua sendiri, dari Papua, untuk Papua, dan juga untuk Indonesia. Semoga.

Bahan Bacaan:

BaKTI News No. 99 Maret -- April 2014. Artikel. Bobby Anderson. Meneropong Sistem Pendidikan di Papua (1). 

BaKTI News No. 99 Maret -- April 2014. Artikel. Bobby Anderson. Meneropong Sistem Pendidikan di Papua (2). 

Kemendikbud. Artikel. 2017. Kemendikbud Siapkan Lima Program Afirmasi Untuk Pemenuhan Guru di Daerah.

Kemendikbud. Presentasi Infografis. Neraca Pendidikan Daerah Provinsi Papua Barat 2016 dan 2017. 

Kopertis Wilayah XII Kemenristekdikti. Artikel. 2017. 17 Perguruan Tinggi Terbaik di Wilayah Timur Indonesia Tahun 2017. 

Media Komunikasi dan Inspirasi JENDELA Kemendikbud. Edisi XX -- Desember 2017. Membangun Pendidikan dan Kualitas Manusia Indonesia dari Pinggiran. https://jendela.kemdikbud.go.id/home/downloadfile/?name=EDISI_20_2017.pdf    

World Bank. Publication: Infrastructure Strategies for Papua and West Papua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun