Meskipun, lagi-lagi aneh bin ajaib masing-masing pendukungnya saat pilkada dulu dan kini masih saja membuat kegaduhan, namun dengan tema-tema politik baru, hingga menyasar tema suksesi di pilpres 2024 yang masih prematur itu.Â
Tapi, bagi politisi, tampaknya itu adalah berbeda, dan penting membuat ancang-ancang dari sekarang. Memantiknya, ibarat jomlo ketika melakukan pdkt (baca: pendekatan) dengan calon idaman hatinya, sebelum sampai pada "menembaknya" atau jadian, biasa dengan lebih dulu melakukan tes ombak dan menabung pencitraan.
Itulah politik. Pun, tentang fenomena politik hari ini. Berlaku dalil politik, bahwa takada kawan dan lawan abadi dalam politik. Yang ada hanya kepentingan, adalah benar adanya.
Nah, dalam karut-marut fenomena politik dan kehidupan berbangsa hari ini, diangkatnya Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama, paling tidak, diharapkan, mungkin untuk merespons realitas itu semua, khususnya berkaitan dengan kehidupan beragama yang sudah agak mengkhawatirkan karena cenderung menghambat keharmonisan kehidupan berbangsa dan stabilitas nasional.
Perkara pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), fenomena kepulangan Rizieq Shihab dan Front Pembela Islam (FPI), Persaudaraan Alumni (PA) 212 (sudah kayak anak sekolah saja), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, dan pengusung radikalisme (ekstremisme) lainnya, adalah "duri dalam daging" bagi NKRI, Pancasila, UUD 45, dan Bhineka Tunggal Ika.Â
Akankah pengangkatan Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama menjadi mimpi buruk di siang bolong bagi kaum radikal itu?
"Kegarangan" (lebih bermakna ketegasan dan konsistensi) yang diperankan Gus Yaqut dan Gerakan Pemuda (GP) Ansor dalam menghadapi kelompok kecil itu— tapi lebih mendaku diri seakan-akan besar, karena gemar berkerumun di satu tempat dan sangat aktif di medsos— yang sikap dan pemahaman agamanya cenderung pada radikalisme (ekstremisme) selama ini, adalah pertimbangan kebijakan politik pemerintahan Jokowi yang diharapkan strategis, efektif, dan lebih signifikan.
Demikian, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tampaknya dituntut ekstra untuk bisa menjembatani perseteruan baru "revolusi mental versus revolusi akhlak" dengan elegan, lebih beradab, dan humanis. Semoga. Tabik. []