Setiap tanggal 9 Dzulhijjah, langit Arafah menjadi saksi dari tangisan, dan doa-doa yang bergema dari jutaan manusia. Mereka yang mengenakan kain ihram, datang dari penjuru dunia, berkumpul di satu tempat yang sama, dengan satu tujuan, Â bersimpuh dalam kehinaan di hadapan Rabb yang Maha Pengampun. Hari ini adalah Hari Arafah, puncak dari seluruh rangkaian ibadah haji, dan bagi banyak orang, bisa jadi ini adalah titik balik hidup mereka.
Tapi mengapa harus di Arafah ?. Â Mengapa tempat ini menjadi pusat dari seluruh kekhusyukan haji ?. Untuk menjawabnya, kita mesti menyusuri jejak sejarah yang tak hanya mengakar pada syariat, tapi juga pada percakapan jiwa manusia dengan langit.
Arafah adalah tempat Nabi Adam Alaihi Salam, dan Siti Hawa dipertemukan kembali setelah diturunkan ke bumi dari surga. Menurut sebagian riwayat, di sinilah mereka saling mengenal kembali setelah berpisah begitu lama dalam pengasingan. Kata Arafah sendiri berasal dari akar kata 'arafa' yang berarti "tahu", atau "mengenali." Maka Arafah adalah tempat pengakuan, tempat seseorang mengenali dirinya, mengenali dosanya, mengenali Tuhannya. Inilah tempat pertemuan yang bukan hanya antara Adam, dan Hawa, tetapi antara manusia, dan kesadarannya.
Di masa kenabian, pada tahun kesepuluh Hijriyah, Rasulullah Shalaullahu Alaihi Wasallam pun berhenti di padang Arafah dalam haji perpisahannya. Di tempat itulah beliau menyampaikan Khutbah Wada' yakni khutbah monumental yang sarat nilai kemanusiaan, dan wahyu. "Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram atas satu sama lain..." ujar beliau. Pesan itu tidak hanya menata ulang tatanan sosial Arab yang rapuh kala itu, tapi juga memberi cetak biru bagi masa depan umat manusia. Arafah menjadi podium suci tempat Nabi terakhir mengumumkan bahwa tugas risalahnya telah paripurna. "Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu..." turun di sana di tengah debu Arafah, bukan di istana, bukan di medan perang.
Wukuf di Arafah kemudian menjadi simbol dari pengakuan total manusia atas dirinya yang lemah, berdosa, rapuh, namun masih dicintai oleh Rabb Tuhan semesta alam. Inilah mengapa ia menjadi rukun haji yang tak tergantikan. Siapa pun yang tidak sempat wukuf, maka hajinya batal. Karena esensi haji bukan pada ritual yang banyak, melainkan pada momen tunduk total yang satu ini. Arafah adalah jantung haji. Ia bukan sekadar tempat, tetapi keadaan jiwa.
Bagi mereka yang tak berhaji, Arafah tetap membuka pintu spiritual. Berpuasa di hari ini membawa keutamaan luar biasa, sebagaimana disabdakan Rasulullah Shalaullahu Alaihi Wasallam, "Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu, dan setahun yang akan datang." Tetapi lebih dari sekadar menahan lapar, hari ini adalah saat paling tepat untuk berhenti sejenak dari kehidupan yang tergesa-gesa. Menghela napas dalam-dalam. Menundukkan kepala. Lalu bertanya pada diri sendiri, sejauh ini, sudah seperti apa aku menjalani hidup ?.
Di tengah dunia yang bising, saat suara digital mengalahkan suara hati, Arafah datang sebagai jeda. Ia tak memaksa siapa pun, tetapi menawarkan sebuah ruang untuk jujur. Hari ini adalah waktu yang ideal untuk bermuhasabah menghisab diri, bukan orang lain. Menyendiri, bukan sekadar secara fisik, tetapi dengan meninggalkan ego, ambisi palsu, dan topeng-topeng sosial. Tak ada yang tahu apakah kita akan bertemu Arafah tahun depan. Maka hari ini, jadikan setiap detiknya sebagai ajang untuk jujur pada Allah dan pada diri sendiri.
Di Arafah, semua orang setara. Raja dan rakyat sama. Pakaian ihram menghapus status. Semua orang berada di bawah terik matahari yang sama, memohon hal yang sama: ampunan, rahmat, dan awal yang baru. Ini adalah pengingat bahwa kehidupan sejatinya adalah perjalanan menuju keikhlasan. Bahwa setiap dari kita akan 'berwukuf' pula kelak di hadapan Allah di padang Mahsyar. Maka siapa yang berlatih wukuf hari ini, semoga kelak ringan saat benar-benar berdiri di pengadilan akhirat.
Hari Arafah yang jatuh pada hari ini kembali menghadirkan momen magis. Di saat wukuf berlangsung di sebelah tenggara Masjidil Haram, Makkah. Miliaran pasang mata umat Islam di seluruh dunia menyatukan hati dalam doa, dan dzikir. Inilah kekuatan spiritual Islam yang jarang dimiliki agama lain, kesatuan waktu, tujuan, dan kesadaran transnasional untuk mendekat kepada Allah Ta'ala. Ada kekhusyukan yang menggetarkan setiap kali melihat jutaan manusia berpakaian putih, menangis, memohon ampun, dan memohon surga. Pakaian ihram itu tak mengenal pangkat, dan harta semuanya setara, sebagaimana manusia kelak berdiri di Padang Mahsyar. Hari Arafah seolah menghadirkan latihan mental menghadapi kematian, apakah kita telah siap ?.
Arafah mengajarkan bahwa hidup harus dijalani dengan kesadaran. Ia bukan sekadar daftar tugas atau pencapaian, tapi tentang bagaimana setiap langkah kita menjadi bagian dari penghambaan. Ini bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang berusaha untuk kembali. Karena yang terpenting bukan seberapa jauh kita telah jatuh, tapi seberapa sungguh kita ingin pulang.
Hari ini, saat matahari Arafah mulai condong ke barat, dan langitnya memerah oleh cahaya senja, di sanalah jutaan pasang tangan terangkat. Di sanalah air mata tumpah bukan karena dunia, tapi karena kerinduan pada ampunan Tuhan. Di sinilah jiwa-jiwa dilahirkan kembali, bukan dalam tubuh baru, tapi dalam semangat baru. Dan siapa pun yang hari ini mengikutinya dengan hati yang ikhlas, maka ia pun bagian dari orang-orang yang sedang kembali kepada Allah, dengan wajah bersih, hati lembut, dan tekad hidup yang lebih bermakna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI