Mohon tunggu...
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rafi Azzamy Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pelajar

Menjadi manusia yang bersyukur dengan cara bernalar luhur dan tidak ngelantur | IG : @rafiazzamy.ph.d | Cp : 082230246303

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kode Peka: Refleksi Atas Semesta Metafora dalam Permainan Tanda

26 Juli 2021   22:23 Diperbarui: 26 Juli 2021   22:51 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Edit Sendiri


Ih kamu kok ga peka sih? Pertanyaan sekaligus pernyataan demikian seringkali kita jumpai di muka bumi, terutama dalam kasus percintaan, yang mana kepekaan diuji dan dilantunkan lewat kode-kode bahasa, lewat relasi antar tanda. Orang bisa disebut peka ketika ia memahami kode tersebut, atau jelasnya ketika orang dapat memahami permainan tanda.

 Kepekaan sangatlah erat dengan bangunan pengertian yang dibangun oleh harapan, ketika seseorang mengharapkan kepekaan, maka sudah pasti ia menuntut tuk diberi pengertian. Sebelum masuk lebih jauh dalam pembahasan, pembaca pasti sudah peka kalau sering menyimak tulisan saya, sebenarnya apa itu peka? Dan apa kaitannya dengan permainan tanda?.

Mengurai Makna Dalam Semesta Tanda

 Apa itu tanda? Apa keterkaitan antara tanda dan makna? Saya akan mengambil definisi tanda dari pandangan Ferdinand De Saussure, seorang bapak linguistik dunia. Saussure membuat kaitan erat dalam definisi tanda dan definisi bahasa, yang mana bahasa menurut Saussure adalah semesta tanda.

 Yang mana konsep mengenai tanda ala Saussure diteruskan oleh Roland Barthes, menurut Barthes tanda itu terdiri dari dua hal, yakni :

* Penanda, suatu bentuk kesan verbal maupun visual, seperti suara, kata, tulisan maupun benda.
*Petanda, konsep yang dihasilkan oleh penanda, semisal konsep dari kata 'Sekolah' adalah 'Suatu tempat yang di dalamnya berlangsung proses belajar-mengajar'.

 Di sini kita pahami, bahwa bahasa bukan hanya sesuatu yang verbal saja, selama suatu hal mengandung unsur 'tanda', maka ia adalah bagian dari bahasa.

 Makna tercipta dari suatu konvensi budaya, atau kesepakatan manusia. Seperti kata Lacan ketika mengutip para strukturalis bahwa kegiatan bahasa bisa terjadi karena ada represi (penekanan), semisal sejak kecil kita telah direpresi oleh lingkungan sekitar kita akan makna suatu kata.

 Semisal kata 'guru', kita telah direpresi bahwa kata 'guru' bermakna 'seseorang yang memberi kita ilmu', makna tersebut dihasilkan oleh kesepakatan manusia, dan ia seperti kata Kristeva dalam Intertekstualitas, bisa berubah kapan saja.

 Permainan tanda atau permainan bahasa, terjadi ketika kita melakukan kegiatan berbahasa, baik memahami tanda maupun mengemukakan tanda sebagaimana kata Wittgenstein dalam Philosophical Investigations.

Kode Peka : Sebuah Sistem Metafora  

  Telah kita ketahui bahwa makna tercipta karena kesepakatan manusia, yang mana makna itu menjadi 'kode-kode bahasa' atau 'kesepakatan-kesepakatan budaya'. Kode bahasa lah yang membuat komunikasi atau penyampaian pesan itu ada, karena dengan adanya kode bahasa maka ada suatu kesepakatan-kesepakatan akan makna yang tercipta, yang mana kesepakatan itu membentuk suatu sistem informasi digunakan manusia untuk saling berkomunikasi antar sesamanya.

 Dalam kegiatan berbahasa kita mengenal Apa yang disebut sebagai metafora, yang mana metafora itu adalah suatu konsep di mana suatu penanda itu mengandung suatu petanda yang amat abstrak wujudnya. Dalam pandangan para strukturalis seperti Ferdinand De saussure, Roland barthes dan kawan-kawannya metafora itu dianggap tidak ada, karena penanda itu sudah mutlak petandanya.

 Singkatnya, bahasa (menurut Saussure dan kawan-kawan) itu sudah mutlak maknanya maka tidak ada keabstrakan di dalamnya. Nah, disini kita akan bertemu dengan sosok pemikir perempuan yang bernama Julia Kristeva, konsepnya dikenal sebagai intertekstualitas, yakni suatu sistem yang didalamnya ada kesalingbergantungan antar satu teks dengan teks yang lain (tak terbatas/bebas). Jadi di dalam intertekstualitas suatu teks itu bisa berkaitan dengan teks manapun, bukan hanya satu teks saja.

 Mudahnya, suatu kata atau penanda tidak hanya memiliki satu makna atau petanda saja melainkan satu kata bisa memiliki jutaan bahkan miliaran makna, yang mana kita kenal hal demikian sebagai metafora. Kita menemukan contoh Intertekstualitas di dalam puisi dan semacamnya, yang mana didalamnya memiliki metafora atau pemaknaan yang tak terhingga, seperti kata Sutardji Calzoum Bachri dalam Licentia Poetica, bahwa dalam puisi ada yang dinamakan sebagai 'kebebasan memilih kata'.

 Peka sebagai suatu sistem tanda yang tentu memiliki kode-kode di dalamnya, orang yang peka atau orang yang ingin dipekai menaruh suatu makna tetap pada kata 'peka' itu sendiri. Saya beri contoh kasusnya :

Sumber : @chatpeka.id
Sumber : @chatpeka.id
Dalam kasus di atas terlihat sekali ada kode yang dipakemkan, bahwa ketika ada pertanyaan "kamu lagi apa?" harus dijawab dengan pertanyaan yang sama pula, dengan menuruti kode tersebutlah (mungkin) kita bisa dianggap peka, namun kita lupa bahwa tiap orang memiliki metafor makna yang berbeda.

Memahami Kepekaan Dengan Merayakan Perbedaan

"Hal itu Peka Menurutku, namun belum Tentu Peka Menurutmu, Perbedaan bukan untuk dipermasalahkan, tapi untuk dirayakan"

 Telah saya jelaskan konsep Intertekstualitas milik Julia Kristeva, dari sana kita bisa memetik bahwasannya dalam kegiatan berbahasa tidak hanya ada satu kode saja, tapi ada ratusan, ribuan, bahkan jutaan kode dalam pikiran manusia, maka wajarlah yang disebut perbedaan pemaknaan.

 Pemaksaan akan satu pemaknaan yang mapan, hanya membuat diri kita terhegemoni oleh konstruksi tanda, dan kita akan saling menyalahkan demi menegakkan pembenaran, padahal tak ada yang benar-benar mutlak dalam bahasa, karena makna dapat berubah (bermetafor) kapan saja.

 Oleh karena itu kode-kode yang berbeda bukan untuk dipertentangkan, tapi untuk direlasikan, kode kepekaan antar satu sama lain pun demikian. Ketika kita menemukan yang kita anggap tidak peka, tak perlu marah dan kecewa, cukup relasikan saja, dengan saling terbuka dan semacamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun