Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Gengsi-Gengsi Tapi Sayang

12 Agustus 2025   04:19 Diperbarui: 12 Agustus 2025   04:19 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERTEMUAN YANG BIASA SAJA

Bilal tak pernah suka duduk di barisan depan kelas. Terlalu dekat dengan dosen, terlalu mudah disuruh-suruh. Ia selalu duduk di baris ketiga dari belakang, dekat jendela. Tersembunyi dan nyaman.

Nadya, di sisi lain, adalah gadis yang suka tempat duduk dekat colokan. Apalagi kalau kelasnya siang, bisa sambil nge-charge handphone. Hari itu, kebetulan tempat favoritnya penuh, dan satu-satunya colokan kosong ada di sebelah Bilal. Tanpa banyak kata, dia duduk.

"Jangan bising, ya." ujar Bilal sambil tetap menatap ke luar jendela.

Nadya mengernyit. "Emang aku mau ngajak ngobrol?"

Mereka saling melirik sekilas. Sekilas saja. Lalu diam kembali.

Dan begitulah awalnya.

PERHATIAN YANG TAK DIUNGKAPKAN

Di kelas, Nadya mulai sering duduk di sebelah Bilal. Alasannya sih tetap, "dekat colokan." Tapi kadang colokannya kosong, dia tetap duduk di situ. Bilal diam-diam menyadari. Tapi ya, gengsi. Nggak komentar.

Di selter Bilal bawa roti isi lebih. Dua bungkus. Katanya, "Beli dua karena diskon, kalau mau ambil aja."

Nadya mengambil. "Thanks."

"Jangan salah paham. Aku nggak peduli kamu makan atau nggak."

"Tenang aja, aku juga nggak merasa istimewa."

Mereka saling jawab, saling sindir, tapi diam-diam senang. Entah sejak kapan, perhatian kecil mulai jadi kebiasaan. Bilal selalu melirik pintu kelas setiap awal jam, memastikan Nadya sudah datang. Sementara Nadya, dengan santainya, selalu minta, "Eh Bilal, absenin aku dong, aku telat." Padahal telatnya cuma dua menit, dan Bilal selalu menurut tanpa banyak protes. 

CEMBURU YANG TAK TERKATAKAN

Suatu hari, Nadya melihat Bilal sedang ngobrol asyik dengan Dinda, mahasiswa dari jurusan sebelah. Mereka ketawa-tawa di kantin. Nadya duduk tak jauh dari situ, bersama temannya, pura-pura sibuk main HP.

"Ciee Bilal sama Dinda sekarang?" bisik Diah, sahabat Nadya.

"Apaan sih. Emangnya gue peduli?"

"Muka lo nyolot, tapi tangan lo ngetik gede-gede."

Memang, Nadya sedang ngetik ke grup kelas: "BILAL, SLIDE PRESENTASI BELUM KIRIM. CEPAT YA. SEMUA UDAH NUNGGUIN. ."

Padahal presentasinya masih minggu depan.

GILIRAN BILAL YANG CEMBURU

Hari Jumat, Bilal melihat Nadya jalan bareng cowok tinggi berjaket denim. Mereka duduk di taman kampus, kelihatan akrab. Bilal berhenti beberapa meter, lalu putar arah.

Besoknya, di grup kelas, Bilal tag Nadya terus. Hal-hal nggak penting. Seolah ingin menunjukkan sesuatu.

"@nadya, kamu udah nyicil tugas belum? Jangan lupa, ya."

"@nadya, kamu ngerti soal nomor 3? Aku sih ngerti, cuma pengin tahu aja versi kamu."

Nadya cuma bales: "udah, jangan bawel." (tapi sambil senyum) 

GILA-GILAAN DI PERPUSTAKAAN

Mereka ditunjuk dosen jadi satu kelompok untuk proyek akhir. Mau tak mau, harus ketemu dan kerja bareng. Nadya bilang, "Kita ke perpus yuk, biar serius."

Bilal setuju. Tapi ternyata mereka lebih banyak cekikikan dari pada nulis. Nadya iseng nempel post-it di jidat Bilal bertuliskan: Pemalas. Bilal balas tempel post-it di punggung Nadya: Suka ngemil.

Mereka tertawa-tawa hingga ditegur petugas.

"Kalian kayak bocah, tahu nggak," tegur Mbak penjaga.

"Maaf, Mbak. Dia memang suka rusuh," ujar Bilal sambil menunjuk Nadya.

"Yah kok aku sih!"

"Soalnya kamu suka nyuri keripik aku."

Mereka perang post-it sampai sore, hingga tumpukan buku yang seharusnya dipelajari hanya jadi alas tawa. Saat akhirnya beres-beres, Nadya melirik Bilal dan berkata, "Kayaknya kalau kerja kelompok sama kamu, tugasnya nggak kelar-kelar." Bilal nyengir, "Santai, besok kita kebut."

MARAH-MARAH GEMES

Nadya pernah kesal karena Bilal nggak bales chat selama dua hari.

"Sorry, HP-ku rusak."

"Alasan."

"Sungguh. Nggak percaya tanya temen-temenku."

"Emang aku siapa sampe harus tahu kabar kamu tiap hari."

Bilal diam. Tapi besoknya, dia kirim voice note: "maaf aku tahu kamu bukan siapa-siapa, tapi buatku, kamu penting."

Nadya nggak balas. Tapi besoknya, dia bawain Bilal roti kesukaannya.

"Lapar nggak?"

"Mau sih. Tapi nggak mau utang budi."

"Tenang, ini roti sumbangan."

MULAI TERBUKA

Setelah presentasi kelompok selesai, Nadya mengirim pesan:

"thank you ya, nggak nyangka kita bisa kerja sama juga, meski awalnya kayak kucing dan tikus."

Bilal balas, "kita masih kayak kucing dan tikus sih, tapi yang ujung-ujungnya ketawa bareng." 

Nadya mengetik. Menghapus. Mengetik lagi.

"besok, kamu sibuk nggak?"

Bilal tak langsung balas. Setelah tiga menit.

"kebetulan jam 3 sore aku free, ngapain?"

"nggak tahu sih. Tapi kalau kamu mau, kita bisa...nongkrong di taman sambil ngobrol." 

NGEDATE PERTAMA

Mereka bertemu di taman kota. Sama-sama canggung, sama-sama sok cool. Nadya pakai topi, Bilal pakai jaket yang katanya baru dicuci (padahal memang spesial dipakai).

Mereka duduk, makan es krim, dan saling ngetawain pilihan rasa.

"Vanilla tuh boring."

"Cokelat tuh mainstream."

"Lo suka ngatur ya."

"Lo juga."

"Ya udah, nanti kita tukeran rasa aja."

"Enggak mau, takut ketularan boring."

Mereka jalan ke danau kecil. Bilal dorong pelan pundak Nadya sampai dia nyaris tercebur. Nadya teriak, lalu gantian ngelempar kerikil ke arah Bilal.

"Bandel banget sih."

"Makanya jangan jaim mulu."

"Aku nggak jaim! Aku elegan."

"Tuh kan ngomong gitu aja jaim."

Mereka ketawa, lalu diam sebentar. Angin sore mengusap pelan rambut Nadya. Bilal melihatnya sesaat, lalu cepat-cepat menunduk.

"Kamu kenapa diem?"

"Nggak apa-apa. Lagi menikmati sore aja. Sama kamu."

GENGSI YANG LULUH

Beberapa hari setelah ngedate, Nadya mulai terbuka. Kirim meme tiap pagi. Kadang voice note iseng. Bilal juga mulai lebih hangat. Kadang nitip buku di tas Nadya, padahal dia bawa tas sendiri.

"Biar ada alasan ngobrol," kata Diah.

"Sst, jangan bilang-bilang," jawab Nadya sambil senyum sendiri.

Bilal ikut nimbrung, "Kalau butuh temen belajar, kabarin aja. Tapi ingat, nggak boleh manja."

"Kalau perut aku keroncongan, boleh minta tolong juga?"

"Itu tergantung. Laper gara-gara belajar, atau gara-gara galau?"

"Kayaknya... kombinasi keduanya."

AKHIRNYA

Mereka duduk di bangku taman yang sama seperti saat ngedate pertama.

"Kita ini aneh ya," ujar Nadya.

"Aneh gimana?"

"Dari yang saling jutek, jadi... begini."

"Kamu lebih dulu yang jatuh hati, ya kan?"

"Sombong banget. Padahal kamu yang duluan peduli."

"Tapi kamu yang ngajak ngedate."

"Karena kamu nggak peka."

Mereka saling diam. Tapi tangan mereka, saling bersentuhan. Tak sengaja. Tapi tak juga dijauhkan.

"Jadi... kita apa sekarang?" tanya Bilal.

Nadya menoleh, mata mereka bertemu.

"Temen yang saling cuek tapi kangen. Yang suka marah tapi nggak mau jauh. Yang gengsi tapi suka."

Bilal tersenyum. "Jadi kita?"

"Jadian juga nggak apa-apa, kali."

Bilal tertawa. "Akhirnya!"

Dan sore itu, dua orang yang saling gengsi, saling sindir, saling cemburu, akhirnya membuka hati. Karena di balik semua kejahilan dan marah-marah itu, ada cinta yang malu-malu. Tapi mau.

(MAW)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun