Baca Juga:Â Bagaimana Serial Captain Tsubasa Menginspirasi Sepak Bola Jepang?
Sekolah dan Kampus Jadi Fondasi Pembinaan
Inilah perbedaan paling mencolok antara Jepang dan Indonesia: mereka tidak meninggalkan dunia pendidikan dalam membangun sepak bola. Justru sekolah dan universitas menjadi tulang punggung sistem pembinaan.
Turnamen antar-SMA di Jepang ini sangat bergengsi. Beberapa pertandingan bahkan disiarkan langsung di televisi nasional dan disaksikan puluhan ribu penonton. Ini bukan hanya soal popularitas, tapi tentang menciptakan ekosistem persaingan yang sehat sejak dini.
Pemain seperti Keisuke Honda adalah produk sistem ini. Ia gagal masuk akademi Gamba Osaka, tapi bangkit dari sekolah SMA Seiryo. Setelah itu, karier profesionalnya melonjak hingga Eropa.
Di level universitas, pembinaan bahkan lebih serius. Banyak pemain timnas Jepang yang bukan berasal dari akademi klub, melainkan dari jalur kampus. Dua contoh mutakhir adalah Kaoru Mitoma dan Kyogo Furuhashi.
Mitoma, yang kini bersinar di Brighton & Hove Albion, bahkan menolak masuk tim utama Kawasaki Frontale pada usia 19 tahun karena memilih menyelesaikan kuliah di Universitas Tsukuba. Ia belajar soal kepelatihan, gizi olahraga, hingga biomekanika sepak bola. Ia bahkan menulis skripsi tentang teknik menggiring bola.
Mitoma bukan hanya pemain berbakat. Ia ilmuwan sepak bola. Dan ini hanya mungkin terjadi dalam sistem yang menghargai pendidikan dan memberi waktu bagi pemain muda untuk berkembang.
Indonesia: Tertinggal Karena Gagal Menyambung Sistem
Sementara Jepang mengembangkan sistem sepak bolanya dengan mengintegrasikan sekolah, klub, dan pendidikan tinggi, Indonesia justru gagal menjaga warisannya. Galatama, yang dulu menginspirasi Jepang, bubar karena masalah internal: konflik federasi, minimnya pembinaan, dan skandal suap.
Setelah Galatama bergabung dengan Perserikatan pada 1994 dan menjadi Liga Indonesia, profesionalisme yang diharapkan tak pernah benar-benar tumbuh. Banyak klub yang masih belum siap profesional dan mandiri. Pembinaan usia dini sporadis. Kompetisi pelajar dan kampus nyaris mati suri.
Kita kehilangan arah, sementara Jepang melaju.