Aku mengangguk, agak kagok. Dia rambutnya diikat dua seperti tokoh kartun, pakai kemeja flanel warna ungu, dan tasnya penuh stiker kartun Jepang. Aura energinya cukup buat ngecas HP. Jauh berbeda dari aku yang jalan aja pelan, ngomong mikir lima kali.
Dan begitulah, 200 hari itu dimulai.
Hari ke-2 sampai 50: Bekal dan Bicara
Sejak hari itu, Keira selalu muncul di taman. Kadang datang lebih dulu dan duduk sambil nyemil keripik, kadang menyusul sambil lari kecil, napas ngos-ngosan.
Bekalnya selalu beda. Hari ini nasi goreng sosis, besoknya mi goreng abon. Tapi sering juga dia minta icip bekalku, yang katanya punya "cita rasa rumahan kayak pelukan."
"Serius, sambal kemangimu itu nendang, tapi bikin nyaman."
Aku cuma senyum. Metafora Keira selalu ajaib. Pernah dia bilang kerupuk ibuku "kayak patah hati pertama: renyah tapi menyakitkan kalau kebanyakan." Aku nggak ngerti, tapi tetap ketawa.
Kami mulai ngobrol tentang banyak hal: kuliah, makanan favorit, bahkan mimpi masa kecil.
"Aku pengen keliling dunia naik kapal pesiar," katanya sambil melamun.
"Kalau aku dulu pas kecil pengen jadi pebalap," jawabku pelan. "Tapi sekarang malah ngoprek mesin doang."
Hari ke-51 sampai 100: Belajar dan Ceng-cengan
Suatu hari, Keira ngajak belajar bareng. Katanya butuh tutor buat mata kuliahnya. Aku hampir tumpahin air minum saking kagetnya.