Cukup itu Lebih daripada Banyak
Kalimat sederhana ini bukanlah sekadar filosofi kosong, melainkan fakta nyata dalam kehidupan sehari.hari. Orang yang mampu mencukupi kebutuhan pokok keluarganya, membiayai sekolah anak-anak, serta memiliki rumah sederhana yang layak huni, sejatinya sudah bisa dikatakan hidup mapan.
Sebaliknya, tak sedikit pengusaha yang tampak kaya raya, namun sebenarnya hidup di atas tumpukan utang. Memang, pemasukan mereka bisa mencapai ratusan juta rupiah setiap bulan, tetapi sebagian besar habis untuk membayar bunga bank, gaji karyawan, sewa gedung, biaya operasional, biaya produksi, hingga pengeluaran tak terduga.Â
Pada akhirnya, hidup mereka hanyalah praktik "gali lubang, tutup lubang". Bila sewaktu-waktu usaha terhambat, barulah ketahuan bahwa kemapanan yang dijalani hanyalah semu belaka.
Kebebasan di masa tua bukan berarti bebas dari tanggung jawab. Selama masih bernapas, setiap orang tetap memiliki kewajiban , bukan hanya pada hukum, tetapi juga pada nilai.nilai kemanusiaan.
Yang dimaksud hidup mandiri di masa pensiun adalah ketika kebutuhan sehari-hari tercukupi dari passive income, tanpa harus mengutak atik tabungan atau deposito.Â
Tentu bukan dari bunga tabungan atau deposito bank yang hanya sekitar 3% setahun nyaris tak berarti. Tetapi dari sumber.sumber passive income yang dirancang sejak dini, entah itu dari properti, usaha kecil yang berjalan otomatis, atau instrumen investasi yang sehat.
Menikmati masa tua bersama pasangan tanpa beban utang, dengan penghidupan yang tercukupi dari hasil jerih payah sendiri, itulah kebebasan yang sejati. Namun kondisi seperti ini tidak akan pernah jatuh dari langit. Semua harus direncanakan, diusahakan, dan dibangun sejak jauh hari.
Jangan pernah membayangkan bahwa masa tua adalah saat duduk santai di kursi goyang sambil momong cucu, tanpa menyiapkan apa pun. Dunia sudah berubah.Â
Kita telah memasuki era milenial, dan pola pikir lama bahwa anak.anak adalah "investasi" untuk menjamin masa tua harus segera ditinggalkan. Jika suatu saat anak-anak memberi kita sesuatu sebagai tanda kasih sayang, tentu itu patut disyukuri, seperti yang saya dan istri alami.Â
Namun jangan pernah menggantungkan kelangsungan hidup kita sepenuhnya di pundak mereka. Jangan jadikan anak.anak sebagai sandaran utama. Sebab, mereka pun memiliki kehidupan, beban, dan tanggung jawab sendiri.
Mulai sekarang, mari kita pikirkan dengan sungguh.sungguh: semua orang pada akhirnya akan menua. Namun menua bukan berarti harus menjadi beban bagi anak cucu. Tua tetap bisa bermartabat, mandiri, dan bahagia.asal kita menyiapkannya sejak hari ini.
Sering kali manusia terjebak dalam ambisi tanpa ujung. Mengejar "banyak" yang belum tentu membawa tenang. Padahal, hidup yang "cukup" justru memberi ruang bagi hati untuk damai, pikiran untuk tenang, dan jiwa untuk bersyukur.Â