Sementara aku cerita soal masa SMA-ku yang membosankan. Dia tertawa saat tahu aku dulu pernah ikut klub bola tapi selalu jadi pemain cadangan.
Hari-hari itu berjalan tanpa komando. Belajar di taman, perpustakaan, kadang di warung kopi depan kampus.
Suatu sore, kami belajar di lantai dua perpustakaan. Hujan turun perlahan di luar. Langit abu-abu, dan suara hujan jadi latar yang menenangkan. Keira mendadak diam setelah membaca satu soal. Lalu, tanpa aba-aba, dia berkata pelan:
"Mik... kamu sadar nggak sih? Belajar tuh sebenarnya cuma alasan aja."
Aku menatapnya. "Alasan buat apa?"
Keira tersenyum, agak canggung. "Buat ketemu. Buat duduk bareng. Buat... nggak terlalu sendirian di dunia yang sibuk ini."
Aku diam cukup lama sampai suara hujan terdengar jelas di antara kami. Lalu aku jawab, pelan juga, tapi jelas:
"Aku juga ngerasa gitu."
Sejak saat itu, ejekan receh kami jadi semacam kode. Bukan sekadar candaan, tapi tanda bahwa kami saling hadir. Aku mulai mencatatnya dalam jurnal kecil:
"Hari ke-62: Keira bilang aku kura-kura kampus lagi. Aku senang disebut begitu, asal yang bilang dia."
Ejekan kami nggak pernah benar-benar menyakitkan. Malah, anehnya, receh tapi selalu teringat. Kayak bekas ketawa yang nggak pernah benar-benar hilang. Aku sadar, pelan-pelan, Keira bukan cuma teman belajar. Dia jadi ruang istirahat di tengah hari-hari kuliah yang padat. Dia jadi jeda yang menyegarkan di sela lelahnya berpikir.