Mohon tunggu...
Muhammad Ulya Farhan
Muhammad Ulya Farhan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Farhan Mahasiswa Teknik Informatika yang gemar menulis esai reflektif tentang sosial, agama, dan logika berpikir. Percaya bahwa kata-kata bisa menjadi jembatan antara nurani dan realitas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa: Sebuah Kisah di Balik Senyum Guru

25 Juli 2025   00:29 Diperbarui: 25 Juli 2025   00:29 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut survei yang dilakukan oleh Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan Dompet Dhuafa pada Mei 2024, kondisi guru honorer di Indonesia sungguh memprihatinkan. Data menunjukkan bahwa 20,5% guru honorer diupah kurang dari Rp500 ribu per bulan. Angka ini mendekati upah Bu Lastri, bahkan lebih rendah dari ambang batas kemiskinan ekstrem per orang per bulan yang ditetapkan BPS pada 2021, yaitu sekitar Rp 322.170. Selain itu, 74% guru honorer menerima gaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), yang berarti mayoritas dari mereka tidak mendapatkan upah sesuai standar hidup minimum di daerah masing-masing.

Bayangkan, bagaimana mungkin seseorang yang bertugas mencerdaskan bangsa hidup dengan pendapatan yang jauh di bawah standar layak? Data ini tidak hanya mengungkap ketimpangan, tetapi juga menegaskan bahwa slogan "pahlawan tanpa tanda jasa" telah menjadi semacam pembenaran atas kondisi yang tidak adil ini. Dibandingkan dengan gaji guru PNS golongan terendah (Gol. I) yang berkisar antara Rp1,7 juta hingga Rp2,9 juta per bulan (data dari Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2024), jurang kesejahteraan antara guru honorer dan guru PNS sangatlah dalam.

Secara nasional, jumlah guru honorer masih sangat signifikan. Pada tahun 2020 saja, data Kemendikbud mencatat ada sekitar 937.228 guru non-PNS, di mana 728.461 di antaranya (sekitar 77%) berstatus guru honorer sekolah. Angka ini menunjukkan betapa vitalnya peran mereka dalam mengisi kekurangan guru di sekolah-sekolah, terutama mengingat prediksi kekurangan guru di Indonesia yang bisa mencapai 1,3 juta pada tahun 2024 (data Kemendikbud dari situs indonesia.go.id).

Meskipun pemerintah telah berupaya mengatasi masalah ini, misalnya melalui program pengangkatan PPPK, prosesnya masih menghadapi tantangan besar. Pada tahun 2021, dari kebutuhan 1.002.616 guru ASN PPPK, hanya 293.860 guru yang lulus dan mendapatkan formasi. Ini berarti masih ada ratusan ribu guru honorer yang menggantungkan nasibnya pada kebijakan yang belum sepenuhnya efektif.

Kondisi ini menciptakan dampak berantai yang jauh lebih luas dari sekadar masalah personal seorang guru. Pertama, kualitas pengajaran itu sendiri terancam. Bayangkan, bagaimana seorang guru bisa sepenuh hati menyerap metodologi pengajaran terbaru, berinovasi di kelas, atau bahkan sekadar fokus mendampingi murid yang kesulitan, jika pikirannya terus-menerus digerogoti kekhawatiran tentang tagihan listrik yang akan jatuh tempo atau bagaimana memenuhi kebutuhan gizi anak di rumah? Stres finansial adalah beban berat yang secara tidak langsung mereduksi kapasitas intelektual dan emosional seorang pendidik. Mereka mungkin hadir secara fisik di ruang kelas, tetapi mental dan semangat mereka terbagi.

Kedua, kondisi ini menggerus martabat profesi guru. Dahulu, profesi guru adalah cita-cita luhur yang dipandang terhormat, dipilih oleh individu-individu terbaik yang ingin mengabdikan diri pada ilmu. Namun kini, dengan prospek kesejahteraan yang suram, profesi ini menjadi pilihan terakhir bagi banyak lulusan perguruan tinggi, bahkan tak jarang diisi oleh mereka yang tidak memiliki kualifikasi yang relevan. Generasi muda melihat bagaimana para "pahlawan" ini berjuang di garis kemiskinan, dan wajar jika mereka pun enggan mengikuti jejak yang sama. Ini menciptakan siklus negatif: kualitas calon guru menurun, kualitas pendidikan masa depan pun terancam.

Ketiga, ketidakpastian status dan gaji honorer ini melahirkan praktik-praktik yang tidak ideal. Banyak guru honorer bekerja bertahun-tahun tanpa kejelasan status, tanpa jaminan pensiun, dan tanpa akses kesehatan yang memadai. Mereka kerap menjadi "tenaga kerja murah" yang dipekerjakan sekolah-sekolah karena keterbatasan anggaran pemerintah daerah. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap eksploitasi, dan seringkali tidak memiliki posisi tawar untuk menuntut hak-haknya. Ada cerita tentang guru honorer yang harus mengabdi puluhan tahun hanya dengan secarik surat tugas dari kepala sekolah, tanpa kepastian akan diangkat menjadi PNS atau PPPK. Mereka terjebak dalam limbo birokrasi, di antara janji manis dan realitas pahit. 

Doktrin bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa telah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memang menanamkan nilai luhur pengabdian. Disisi lain, ia menjadi alasan paling ampuh untuk mengabaikan kebutuhan dasar para pengabdi itu sendiri. Kita seolah-olah dituntut untuk memilih: apakah seorang guru harus kaya ataukah ia harus tulus mengabdi? Padahal, keduanya tidak harus saling meniadakan. Justru, seorang guru yang sejahtera secara ekonomi akan lebih leluasa untuk mencurahkan segenap pikiran dan tenaganya untuk pengabdian yang tulus dan berkualitas. Mereka tidak perlu lagi memecah konsentrasi antara menyiapkan materi pelajaran dan mencari tambahan penghasilan.

Masyarakat sering kali lupa bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang sebuah bangsa. Kita mengharapkan anak-anak kita dididik oleh guru-guru terbaik, yang termotivasi, yang selalu up-to-date dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, bagaimana mungkin harapan itu terwujud jika mereka sendiri tidak mampu membeli buku baru, mengakses internet untuk mencari referensi, atau mengikuti pelatihan profesional yang membutuhkan biaya? Pendidikan yang berkualitas tidak akan pernah gratis, dan investasi terbesar ada pada kualitas manusianya yaitu para guru.

Pemerintah juga perlu merefleksikan kembali narasi ini, bukan hanya sekadar memberikan bantuan insentif yang bersifat sementara. Dana pendidikan yang besar, yang dialokasikan dari APBN (saat ini sesuai dengan komitmen yang tertera dalam UUD 1945 dan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20% , dan ini telah dilaksanakan sejak tahun 2009), seharusnya tidak hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik seperti gedung sekolah atau pengadaan alat-alat, melainkan juga harus dialirkan secara signifikan dan transparan untuk kesejahteraan guru. Alokasi anggaran untuk gaji yang layak, tunjangan profesi, jaminan kesehatan yang komprehensif, dan program pengembangan kapasitas guru harus menjadi prioritas utama. Sebab, sehebat apapun infrastruktur, jika guru yang mengisinya tidak sejahtera, kualitas pendidikan akan tetap stagnan dan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa hanya akan menjadi angan-angan belaka.

Maka dari itu, sudah saatnya kita mengubah sudut pandang. Frasa "pahlawan tanpa tanda jasa" harus ditransformasi menjadi "pahlawan dengan tanda jasa yang layak." Tanda jasa itu bukan hanya pujian verbal atau piagam sesekali, melainkan jaminan hidup yang layak, kepastian status, dan kesempatan pengembangan diri yang setara. Ini bukan berarti guru tidak lagi harus berdedikasi, melainkan agar dedikasi mereka bisa tercurah sepenuhnya tanpa beban pikiran yang membelenggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun