Mohon tunggu...
Muhammad Ulya Farhan
Muhammad Ulya Farhan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Farhan Mahasiswa Teknik Informatika yang gemar menulis esai reflektif tentang sosial, agama, dan logika berpikir. Percaya bahwa kata-kata bisa menjadi jembatan antara nurani dan realitas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa: Sebuah Kisah di Balik Senyum Guru

25 Juli 2025   00:29 Diperbarui: 25 Juli 2025   00:29 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa: Sebuah Kisah di Balik Senyum Guru

Sebuah ketikan untuk menyuarakan guru yang terpinggirkan

Pagi yang cerah, langit yang indah pertanda hari yang baik untuk mengawali langkah yang mulia, menjadi seorang guru yang tabah, semangat patriotik tertanam untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, selaras dengan amanat undang-undang negara tercinta. Kehidupan yang inspiratif seorang guru yang terus-menerus diajarkan generasi ke generasi berikutnya untuk meneruskan jejak mulia ini, menjadi seorang pendidik handal bagi generasi mendatang.

Di antara barisan pendidik yang mengemban amanat besar itu adalah Bu Lastri. Setiap pagi, ia melangkah mantap menuju sebuah sekolah di pelosok desa, wajahnya memancarkan ketulusan yang sama seperti embun di dedaunan pagi. Senyumnya ramah, selalu siap menyambut puluhan pasang mata polos yang menatapnya penuh harap. Di hadapan murid-muridnya, Bu Lastri adalah sosok sempurna yang tidak pernah mengeluh, selalu bercerita tentang cita-citanya yang setinggi langit dan kerja kerasnya yang berbuah manis. Bu Lastri adalah gambaran nyata "pahlawan tanpa tanda jasa," sebuah frasa yang sering kita dengar, bahkan tanpa perlu bertanya lebih dalam apa artinya bagi mereka yang menyandangnya.

Namun, di balik senyum tulus itu, ada sebuah kisah yang tersembunyi. Sebuah narasi yang tak pernah ia ceritakan di depan kelas, bahkan mungkin, tak akan pernah ia ucapkan pada siapa pun. Ini adalah kisah tentang pengabdian yang berbenturan dengan realitas, tentang sebuah panggilan mulia yang diuji oleh tuntutan hidup yang tidak kalah nyata. Sebuah realitas yang sangat jauh dari apa yang ia impikan dahulu: menjadi seorang guru yang mengajar anak-anak di sekolah, mendapatkan gaji yang cukup untuk kehidupannya, dan bisa menata masa depannya dengan sejahtera. Ternyata, semua itu jauh dari angan-angannya.

Bu Lastri hanyalah seorang guru honorer. Setiap hari, ia mengajar berbagai mata pelajaran, apa pun yang bisa ia masuki, demi mengisi jam kosong atau menggantikan guru yang berhalangan hadir. Gajinya dihitung per jam, dan pada akhirnya, setiap bulan ia hanya mengantongi sekitar 200 hingga 300 ribu rupiah. Paling bercandanya, jika ia beruntung dan banyak rekan guru tidak masuk sehingga jam mengajarnya bertambah, ia mungkin bisa mencapai 400 ribu rupiah. Angka-angka itu, ironisnya, terasa begitu kecil jika dibandingkan dengan bekal ilmu yang ia sampaikan, senyum yang ia berikan, dan harapan besar yang ditanamkan pada setiap jiwa muda di depannya.

Gaji sekecil itu, bagi Bu Lastri, bukan lagi soal menabung atau merencanakan masa depan. Ini adalah pertarungan harian melawan kebutuhan dasar. Setiap akhir bulan, ia harus memutar otak, mencoba menyeimbangkan antara uang sewa kontrakan sederhana, biaya listrik, dan kebutuhan dapur yang tak pernah bisa ditunda. Seringkali, sayur mayur dan lauk pauk sederhana adalah kemewahan yang harus dipertimbangkan matang-matang. Buku-buku referensi baru untuk mengajar? Pakaian yang layak untuk ke sekolah? Itu semua hanya mimpi di siang bolong. Belum lagi kuota yang sudah menjadi kebutuhan di era sekarang, dan BBM untuk kendaraan yang sudah menemaninya sejak menempuh jenjang perkuliahan.

Ironisnya, saat ia mencoba mengutarakan beban ini kepada beberapa kerabat atau bahkan sesama guru dengan status yang lebih baik, respons yang ia terima seringkali sama: "Ah, Bu Lastri kan Guru,guru itu pahlawan loh!. Mengajar itu kan pengabdian, bukan mencari kaya." Kalimat itu, yang awalnya terdengar mulia, kini terasa seperti belenggu yang mengikat. Seolah-olah, penghargaan tertinggi bagi dedikasinya adalah pujian kosong, bukan jaminan kesejahteraan yang setara.Guru yang telah diangkat menjadi PNS,setidaknya kehidupan mereka terjamin,gaji mereka terdata,jumlah dananya tersiar berita di saku celana mereka,notifikasi Mandiri,BRI,BSI,BNI,BCA setidaknya muncul setiap tanggal muda. Doktrin "pahlawan tanpa tanda jasa" telah menjelma menjadi semacam pembenaran untuk mengabaikan hak-haknya Bu Lastri, menuntutnya untuk terus berkorban tanpa batas, menganggap keikhlasannya sebagai satu-satunya "gaji" yang layak ia terima.

Di luar jam sekolah, saat guru lain mungkin menikmati waktu istirahat atau mempersiapkan materi untuk esok, Bu Lastri seringkali harus mencari penghasilan tambahan. Terkadang ia menerima jahitan dari tetangga, membantu berjualan di warung kecil, atau sesekali menjadi ojek. Kelelahan fisik dan batinnya menumpuk, namun ia tahu, jika tidak begitu, dapurnya tidak akan mengepul, esok paginya ia tidak bisa berangkat mengajar dengan tangki kosong kendaraannya.

Setiap langkah Bu Lastri menuju sekolah di pagi hari, setiap senyum yang ia berikan kepada murid-muridnya, adalah bukti nyata dari semangat pengabdiannya. Namun, di setiap langkah itu pula, ada pertanyaan yang menggantung di benaknya: "Sampai kapan saya harus seperti ini?",'Apa benar Guru Pahlawan,Kenapa Pahlawan tidak mendapatkan apresiasi,penghargaan,dan kesejahteraan", Atau, "Apakah pahlawan memang seharusnya berjuang sendirian dalam kesenyapan, tanpa tanda jasa yang benar-benar bisa menopang hidupnya?"

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan karena ia tak ikhlas. Ia mencintai profesinya, ia mencintai anak-anak didiknya. Tapi, ia juga manusia, dengan kebutuhan, dengan mimpi untuk memiliki hidup yang lebih stabil, agar ia bisa mencurahkan energi sepenuhnya untuk mendidik, tanpa dihantui pikiran tentang esok hari. Doktrin "pahlawan tanpa tanda jasa" telah menutupi fakta bahwa bahkan pahlawan pun butuh makan, butuh tempat tinggal, dan butuh kepastian masa depan.

Kisah Bu Lastri bukanlah anomali, melainkan cerminan dari ribuan guru honorer di seluruh pelosok Indonesia yang terekam jelas dalam berbagai data dan survei, bahkan yang dikeluarkan oleh lembaga riset yang kredibel di indonesia. Realitas dari ketiga hal ini menunjukkan bahwa "pahlawan tanpa tanda jasa" adalah sebuah doktrin yang sangat efektif menyembunyikan masalah serius di balik gemerlap retorika.

Menurut survei yang dilakukan oleh Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan Dompet Dhuafa pada Mei 2024, kondisi guru honorer di Indonesia sungguh memprihatinkan. Data menunjukkan bahwa 20,5% guru honorer diupah kurang dari Rp500 ribu per bulan. Angka ini mendekati upah Bu Lastri, bahkan lebih rendah dari ambang batas kemiskinan ekstrem per orang per bulan yang ditetapkan BPS pada 2021, yaitu sekitar Rp 322.170. Selain itu, 74% guru honorer menerima gaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), yang berarti mayoritas dari mereka tidak mendapatkan upah sesuai standar hidup minimum di daerah masing-masing.

Bayangkan, bagaimana mungkin seseorang yang bertugas mencerdaskan bangsa hidup dengan pendapatan yang jauh di bawah standar layak? Data ini tidak hanya mengungkap ketimpangan, tetapi juga menegaskan bahwa slogan "pahlawan tanpa tanda jasa" telah menjadi semacam pembenaran atas kondisi yang tidak adil ini. Dibandingkan dengan gaji guru PNS golongan terendah (Gol. I) yang berkisar antara Rp1,7 juta hingga Rp2,9 juta per bulan (data dari Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2024), jurang kesejahteraan antara guru honorer dan guru PNS sangatlah dalam.

Secara nasional, jumlah guru honorer masih sangat signifikan. Pada tahun 2020 saja, data Kemendikbud mencatat ada sekitar 937.228 guru non-PNS, di mana 728.461 di antaranya (sekitar 77%) berstatus guru honorer sekolah. Angka ini menunjukkan betapa vitalnya peran mereka dalam mengisi kekurangan guru di sekolah-sekolah, terutama mengingat prediksi kekurangan guru di Indonesia yang bisa mencapai 1,3 juta pada tahun 2024 (data Kemendikbud dari situs indonesia.go.id).

Meskipun pemerintah telah berupaya mengatasi masalah ini, misalnya melalui program pengangkatan PPPK, prosesnya masih menghadapi tantangan besar. Pada tahun 2021, dari kebutuhan 1.002.616 guru ASN PPPK, hanya 293.860 guru yang lulus dan mendapatkan formasi. Ini berarti masih ada ratusan ribu guru honorer yang menggantungkan nasibnya pada kebijakan yang belum sepenuhnya efektif.

Kondisi ini menciptakan dampak berantai yang jauh lebih luas dari sekadar masalah personal seorang guru. Pertama, kualitas pengajaran itu sendiri terancam. Bayangkan, bagaimana seorang guru bisa sepenuh hati menyerap metodologi pengajaran terbaru, berinovasi di kelas, atau bahkan sekadar fokus mendampingi murid yang kesulitan, jika pikirannya terus-menerus digerogoti kekhawatiran tentang tagihan listrik yang akan jatuh tempo atau bagaimana memenuhi kebutuhan gizi anak di rumah? Stres finansial adalah beban berat yang secara tidak langsung mereduksi kapasitas intelektual dan emosional seorang pendidik. Mereka mungkin hadir secara fisik di ruang kelas, tetapi mental dan semangat mereka terbagi.

Kedua, kondisi ini menggerus martabat profesi guru. Dahulu, profesi guru adalah cita-cita luhur yang dipandang terhormat, dipilih oleh individu-individu terbaik yang ingin mengabdikan diri pada ilmu. Namun kini, dengan prospek kesejahteraan yang suram, profesi ini menjadi pilihan terakhir bagi banyak lulusan perguruan tinggi, bahkan tak jarang diisi oleh mereka yang tidak memiliki kualifikasi yang relevan. Generasi muda melihat bagaimana para "pahlawan" ini berjuang di garis kemiskinan, dan wajar jika mereka pun enggan mengikuti jejak yang sama. Ini menciptakan siklus negatif: kualitas calon guru menurun, kualitas pendidikan masa depan pun terancam.

Ketiga, ketidakpastian status dan gaji honorer ini melahirkan praktik-praktik yang tidak ideal. Banyak guru honorer bekerja bertahun-tahun tanpa kejelasan status, tanpa jaminan pensiun, dan tanpa akses kesehatan yang memadai. Mereka kerap menjadi "tenaga kerja murah" yang dipekerjakan sekolah-sekolah karena keterbatasan anggaran pemerintah daerah. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap eksploitasi, dan seringkali tidak memiliki posisi tawar untuk menuntut hak-haknya. Ada cerita tentang guru honorer yang harus mengabdi puluhan tahun hanya dengan secarik surat tugas dari kepala sekolah, tanpa kepastian akan diangkat menjadi PNS atau PPPK. Mereka terjebak dalam limbo birokrasi, di antara janji manis dan realitas pahit. 

Doktrin bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa telah menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memang menanamkan nilai luhur pengabdian. Disisi lain, ia menjadi alasan paling ampuh untuk mengabaikan kebutuhan dasar para pengabdi itu sendiri. Kita seolah-olah dituntut untuk memilih: apakah seorang guru harus kaya ataukah ia harus tulus mengabdi? Padahal, keduanya tidak harus saling meniadakan. Justru, seorang guru yang sejahtera secara ekonomi akan lebih leluasa untuk mencurahkan segenap pikiran dan tenaganya untuk pengabdian yang tulus dan berkualitas. Mereka tidak perlu lagi memecah konsentrasi antara menyiapkan materi pelajaran dan mencari tambahan penghasilan.

Masyarakat sering kali lupa bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang sebuah bangsa. Kita mengharapkan anak-anak kita dididik oleh guru-guru terbaik, yang termotivasi, yang selalu up-to-date dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, bagaimana mungkin harapan itu terwujud jika mereka sendiri tidak mampu membeli buku baru, mengakses internet untuk mencari referensi, atau mengikuti pelatihan profesional yang membutuhkan biaya? Pendidikan yang berkualitas tidak akan pernah gratis, dan investasi terbesar ada pada kualitas manusianya yaitu para guru.

Pemerintah juga perlu merefleksikan kembali narasi ini, bukan hanya sekadar memberikan bantuan insentif yang bersifat sementara. Dana pendidikan yang besar, yang dialokasikan dari APBN (saat ini sesuai dengan komitmen yang tertera dalam UUD 1945 dan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20% , dan ini telah dilaksanakan sejak tahun 2009), seharusnya tidak hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik seperti gedung sekolah atau pengadaan alat-alat, melainkan juga harus dialirkan secara signifikan dan transparan untuk kesejahteraan guru. Alokasi anggaran untuk gaji yang layak, tunjangan profesi, jaminan kesehatan yang komprehensif, dan program pengembangan kapasitas guru harus menjadi prioritas utama. Sebab, sehebat apapun infrastruktur, jika guru yang mengisinya tidak sejahtera, kualitas pendidikan akan tetap stagnan dan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa hanya akan menjadi angan-angan belaka.

Maka dari itu, sudah saatnya kita mengubah sudut pandang. Frasa "pahlawan tanpa tanda jasa" harus ditransformasi menjadi "pahlawan dengan tanda jasa yang layak." Tanda jasa itu bukan hanya pujian verbal atau piagam sesekali, melainkan jaminan hidup yang layak, kepastian status, dan kesempatan pengembangan diri yang setara. Ini bukan berarti guru tidak lagi harus berdedikasi, melainkan agar dedikasi mereka bisa tercurah sepenuhnya tanpa beban pikiran yang membelenggu.

Bu Lastri dan ribuan guru honorer lainnya adalah fondasi sejati pendidikan di Indonesia. Mereka adalah arsitek masa depan, pembentuk karakter, dan penyemai harapan. Jika fondasi ini rapuh karena masalah kesejahteraan, maka bangunan pendidikan yang kita impikan pun akan ikut goyah. Sudah saatnya kita tidak lagi hanya berdiri di tepi dan mengagumi pengorbanan mereka, tetapi ikut melangkah maju untuk memastikan bahwa pengorbanan itu benar-benar dihargai. Guru adalah investasi paling berharga, dan kesejahteraan mereka adalah cerminan seberapa serius sebuah bangsa menghargai masa depannya. Hanya dengan menghargai mereka secara layak, kita bisa benar-benar menggenapi amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekadar menjadikannya doktrin yang menyembunyikan realitas.

"Ketika dedikasi dianggap sebagai alasan untuk tidak membayar layak, maka panggilan mulia telah berubah menjadi eksploitasi berkedok pengabdian."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun