3. Aspek Sosiologis: Pelaksanaan Mapacci melibatkan partisipasi keluarga dan masyarakat, yang mencerminkan prinsip musyawarah (*assituruseng) dan gotong royong (sipakalebbi) dalam masyarakat Bugis.
Berdasarkan penalaran ini, Mapacci memenuhi unsur-unsur validitas hukum adat, yakni adanya norma yang diakui, dipatuhi, dan memiliki sanksi sosial apabila dilanggar.
Analisis Deduktif Terhadap Simbol-Simbol Mapacci
Ritual Mapacci menggunakan beberapa simbol yang dapat dianalisis secara deduktif:
1. Daun Pacar (Pacci): Simbolisasi kesucian dan kebersihan. Secara logis, penggunaan daun pacar yang menghasilkan warna merah pada telapak tangan menjadi penanda visual bahwa calon pengantin telah menjalani ritual pembersihan.
2. Bantal: Melambangkan kehormatan dan martabat. Dalam penalaran analogi, sebagaimana bantal adalah tempat bersandar kepala (bagian tubuh yang dihormati), demikian pula kehormatan harus dijunjung tinggi dalam pernikahan.
3. Sarung Sutera: Melambangkan status sosial dan kesiapan ekonomi. Secara induktif, kemampuan menyediakan sarung sutera mencerminkan kesiapan calon pengantin dalam menyediakan kebutuhan rumah tangga.
4. Lilin: Simbolisasi penerangan dan petunjuk. Secara logika kausal, sebagaimana lilin menerangi kegelapan, pernikahan diharapkan menjadi sumber penerangan dalam kehidupan.
Interpretasi Kontekstual dalam Dinamika Sosial
Sebagai produk budaya, tradisi Mapacci tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan historis masyarakat Bugis. Berdasarkan prinsip penalaran kontekstual, tradisi ini dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Interpretasi Historis: Mapacci telah mengalami proses evolusi dan adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman. Pada masa lampau, prosesi ini lebih kompleks dan memakan waktu lebih lama. Seiring dengan perubahan sosial, prosesi ini telah disederhanakan namun tetap mempertahankan esensinya.