Mohon tunggu...
Muhammad Syaifullah
Muhammad Syaifullah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tradisi Mapacci di Tanah Bugis: Perspektif Logika dan Penalaran Hukum

17 Maret 2025   11:32 Diperbarui: 17 Maret 2025   11:32 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Wanita Bugis Mapacci (sumber: Pinterest) https://id.pinterest.com/pin/290060032263301162/

Tradisi Mapacci merupakan salah satu ritual adat yang memiliki posisi penting dalam rangkaian pernikahan masyarakat Bugis. Sebagai sebuah warisan budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad, Mapacci tidak hanya menjadi simbol identitas etnis, tetapi juga mencerminkan sistem nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat Bugis. Tulisan ini akan menganalisis tradisi Mapacci menggunakan pendekatan logika dan penalaran hukum untuk memahami relevansinya dalam konteks kekinian.

Dasar Argumentasi Logis Tradisi Mapacci

Secara etimologis, kata "Mapacci" berasal dari kata "paccing" yang berarti bersih atau suci. Jika dianalisis dari perspektif logika silogisme, dapat dirumuskan sebagai berikut:

* Setiap calon pengantin harus dalam keadaan suci dan bersih sebelum memasuki bahtera pernikahan.

* Ritual Mapacci adalah prosesi pembersihan dan penyucian diri calon pengantin.

* Oleh karena itu, ritual Mapacci merupakan keharusan bagi calon pengantin Bugis sebelum memasuki bahtera pernikahan.

Argumentasi ini menunjukkan bahwa tradisi Mapacci memiliki landasan logis yang kuat, bukan sekadar ritual tanpa makna. Pelaksanaan Mapacci mencerminkan kesadaran masyarakat Bugis akan pentingnya kebersihan dan kesucian spiritual sebelum menjalani kehidupan berumah tangga.

Perspektif Hukum Adat dan Penalaran Yuridis

Dalam konteks hukum adat Bugis, tradisi Mapacci dapat dipandang sebagai norma yang telah memperoleh legitimasi sosial dan kultural. Melalui pendekatan penalaran yuridis, tradisi ini dapat dianalisis sebagai berikut:

1. Aspek Formal: Mapacci telah menjadi bagian integral dari sistem pernikahan adat Bugis yang diakui oleh masyarakat dan pemangku adat (*pabbicara). Meskipun tidak tertulis secara formal, keberadaannya telah diakui sebagai hukum yang hidup (living law).

2. Aspek Material: Substansi Mapacci mengandung nilai-nilai penting seperti kesucian, keikhlasan, dan kesiapan mental yang menjadi prasyarat bagi pasangan yang akan menikah. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum perkawinan pada umumnya.

3. Aspek Sosiologis: Pelaksanaan Mapacci melibatkan partisipasi keluarga dan masyarakat, yang mencerminkan prinsip musyawarah (*assituruseng) dan gotong royong (sipakalebbi) dalam masyarakat Bugis.

Berdasarkan penalaran ini, Mapacci memenuhi unsur-unsur validitas hukum adat, yakni adanya norma yang diakui, dipatuhi, dan memiliki sanksi sosial apabila dilanggar.

Analisis Deduktif Terhadap Simbol-Simbol Mapacci

Ritual Mapacci menggunakan beberapa simbol yang dapat dianalisis secara deduktif:

1. Daun Pacar (Pacci): Simbolisasi kesucian dan kebersihan. Secara logis, penggunaan daun pacar yang menghasilkan warna merah pada telapak tangan menjadi penanda visual bahwa calon pengantin telah menjalani ritual pembersihan.

2. Bantal: Melambangkan kehormatan dan martabat. Dalam penalaran analogi, sebagaimana bantal adalah tempat bersandar kepala (bagian tubuh yang dihormati), demikian pula kehormatan harus dijunjung tinggi dalam pernikahan.

3. Sarung Sutera: Melambangkan status sosial dan kesiapan ekonomi. Secara induktif, kemampuan menyediakan sarung sutera mencerminkan kesiapan calon pengantin dalam menyediakan kebutuhan rumah tangga.

4. Lilin: Simbolisasi penerangan dan petunjuk. Secara logika kausal, sebagaimana lilin menerangi kegelapan, pernikahan diharapkan menjadi sumber penerangan dalam kehidupan.

Pelaminan Adat Bugis (sumber:Pinterest) https://id.pinterest.com/pin/750834569139871785/
Pelaminan Adat Bugis (sumber:Pinterest) https://id.pinterest.com/pin/750834569139871785/
Analisis deduktif ini menunjukkan bahwa simbol-simbol dalam Mapacci tidak hadir secara arbitrer, tetapi memiliki makna dan logika yang dapat dipahami secara rasional.

Interpretasi Kontekstual dalam Dinamika Sosial

Sebagai produk budaya, tradisi Mapacci tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan historis masyarakat Bugis. Berdasarkan prinsip penalaran kontekstual, tradisi ini dapat dianalisis sebagai berikut:

1. Interpretasi Historis: Mapacci telah mengalami proses evolusi dan adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman. Pada masa lampau, prosesi ini lebih kompleks dan memakan waktu lebih lama. Seiring dengan perubahan sosial, prosesi ini telah disederhanakan namun tetap mempertahankan esensinya.

2. Interpretasi Sistematis: Mapacci merupakan bagian dari sistem pernikahan adat Bugis yang komprehensif, yang mencakup tahapan mammanu'-manu' (penjajakan), madduta (lamaran), hingga mappabotting (pernikahan). Pemahaman terhadap Mapacci tidak dapat dilepaskan dari tahapan-tahapan lainnya.

3. Interpretasi Teleologis: Tujuan utama Mapacci adalah mempersiapkan calon pengantin secara mental dan spiritual. Dalam konteks modern, tujuan ini tetap relevan meskipun bentuk pelaksanaannya dapat disesuaikan.

Pendekatan interpretasi ini menunjukkan bahwa tradisi Mapacci memiliki dimensi historis dan sosial yang kompleks, yang perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas.

Harmonisasi dengan Sistem Hukum Nasional

Dalam kerangka negara hukum Indonesia, tradisi Mapacci dapat ditempatkan dalam konteks pluralisme hukum. Berdasarkan prinsip penalaran analogi, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Pengakuan Konstitusional: Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Berdasarkan ketentuan ini, tradisi Mapacci memperoleh pengakuan konstitusional.

2. Harmonisasi dengan Hukum Perkawinan: UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengakui perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Mapacci sebagai bagian dari rangkaian pernikahan adat Bugis tidak bertentangan dengan prinsip ini.

3. Pelestarian Warisan Budaya: UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memberikan landasan hukum bagi pelestarian tradisi Mapacci sebagai objek pemajuan kebudayaan.

Analisis ini menunjukkan bahwa tradisi Mapacci tidak hanya memiliki legitimasi sosial dan kultural, tetapi juga memperoleh pengakuan dalam sistem hukum nasional Indonesia.

Kesimpulan

Tradisi Mapacci dalam masyarakat Bugis merupakan manifestasi kearifan lokal yang memiliki landasan logis dan yuridis yang kuat. Melalui pendekatan logika dan penalaran hukum, dapat dipahami bahwa tradisi ini bukan sekadar ritual tanpa makna, tetapi merupakan sistem nilai dan norma yang telah teruji dalam dinamika masyarakat Bugis.

Dalam konteks kekinian, pelestarian tradisi Mapacci perlu dilakukan dengan pemahaman yang komprehensif terhadap nilai-nilai filosofis dan historisnya. Pendekatan logika dan penalaran hukum dapat menjadi instrumen untuk memahami dan mengkontekstualisasikan tradisi ini agar tetap relevan dalam kehidupan modern.

Sebagai warisan budaya, tradisi Mapacci tidak hanya menjadi identitas etnis Bugis, tetapi juga merupakan kekayaan intelektual dan spiritual yang perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi mendatang. Dengan demikian, tradisi ini akan tetap menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Bugis, sekaligus memberikan kontribusi bagi kekayaan budaya nasional Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun