Mohon tunggu...
Muhammad Ali Agil
Muhammad Ali Agil Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Kementerian Keuangan

PNS Kementerian Keuangan yang saat ini bertugas pada Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Jambi

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mengapa Harus Ada Pungutan Pajak?

22 November 2021   15:00 Diperbarui: 22 November 2021   15:29 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Sebagai seorang muslim sekaligus sebagai seorang pegawai Kementerian Keuangan, terkadang penulis merasa kecewa dengan sikap sebagian pihak tertentu, karena terkadang oknum tertentu tersebut seolah menentang berjalannya roda pemerintahan. Ironisnya pihak-pihak tertentu yang resist terhadap kebijakan pemerintah tersebut kebanyakan adalah muslim, yang notabene merupakan saudara se-iman dari penulis. 

Penolakan (resistance) dari sebagian muslim terhadap jalannya roda pemerintahan dapat terjadi karena adanya perbedaan atas penafsiran teks agama (dalam hal ini agama Islam). Sebagaimana kita ketahui, dalam bidang agama terdapat banyak sekali hal yang dapat ditafsirkan atau diintrepetasikan secara berbeda, mulai dari penafsiran yang radikal, hingga penafsiran yang moderat dan toleran.

Salah satu hal yang ditafsirkan secara beragam oleh para ulama adalah mengenai status halal-haramnya pungutan pajak. Ulama-ulama di Indonesia berbeda pendapat mengenai hukum dari pungutan pajak ini. Sebagian ustadz seperti UKB menyatakan bahwa pajak itu hukumnya haram. 

Sedangkan ustadz lain seperti Ustadz Adi Hidayat membolehkan pajak ini yang beliau analogikan sebagai jizyah. Sementara ulama lain seperti Quraish Shihab, bukan hanya membolehkan adanya pajak, beliau bahkan mengkhawatirkan bahwa orang-orang yang tidak mau membayar pajak boleh jadi akan masuk neraka.

Salah satu nash yang dijadikan dalil bagi orang-orang yang mengharamkan pajak adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, "Laa yadkhulul jannata shohibu maksin" yang sering diterjemahkan "Tidak akan masuk surga orang yang mengambil/memungut maksin". Kata maksin dalam hadits ini sering diterjemahkan sebagai pajak, walaupun terjemahan ini adalah terjemahan yang sembrono. 

Menurut Ustadz Adi Hidayat, maksin di dalam hadits ini sebenarnya lebih tepat diterjemahkan sebagai pungli atau pungutan liar. Misalnya preman-preman pasar yang melakukan pungli kepada pedagang-pedagang di pasar. Hal ini juga dikuatkan oleh hadits semisal yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, "Tidak akan masuk surga orang yang memungut maksin/pajak secara illegal". 

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ini terdapat penambahan frase secara illegal secara gamblang menyatakan bahwa yang diharamkan dalam hadits tsb adalah pungutan liar yang tidak memiliki dasar hukum. 

Sedangkan pajak jelas-jelas merupakan pungutan resmi negara yang sudah dilegalkan melalui undang-undang yang disetujui oleh DPR. Dengan demikian tidak tepat rasanya menggunakan hadits tsb untuk menjustifikasi bahwa memungut pajak hukumnya haram.

UKB yang menyatakan bahwa memungut pajak hukumnya haram sepertinya memang bukan berdalil dari hadits tsb di atas melainkan menggunakan logikanya sendiri. Menurut pendapat UKB, pajak itu haram disebabkan karena pajak itu bersifat memaksa, sedangkan menurutnya lagi segala sesuatu yang sifatnya memaksa maka hukumnya adalah haram.

Benarkah segala sesuatu yang memaksa hukumnya haram? Di seluruh dunia, yang namanya peraturan memang sifatnya memaksa. Tidak ada peraturan yang sifatnya sukarela. 

Yang bersifat sukarela itu namanya bukan peraturan melainkan himbauan. Beberapa contoh peraturan di Indonesia misalnya, menggunakan helm bagi pengguna sepeda motor, berhenti ketika lampu merah, tidak melawan arah pada jalan yang hanya satu arah, memakai masker di masa pandemi covid, melakukan tes swab antigen atau tes PCR ketika melakukan perjalanan, menunjukkan kartu vaksin ketika hendak masuk ke dalam mall, dan lain sebagainya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun