Langkah kaki ribuan pemuda di Kathmandu, Nepal, menghentak jalanan sempit kota tua. Mereka membawa poster, berteriak lantang, dan menolak larangan penggunaan media sosial yang baru saja diberlakukan pemerintah. Bagi generasi muda Nepal, larangan itu bukan sekadar regulasi digital, melainkan simbol perampasan kebebasan berekspresi.
Demonstrasi itu tak berdiri sendiri. Korupsi, nepotisme, dan runtuhnya kepercayaan pada elite politik membuat api protes membesar. Jalanan Kathmandu menjelma arena perlawanan, diwarnai bentrokan panjang antara aparat dan rakyat. Nepal kini berdiri di ambang krisis legitimasi, dengan generasi mudanya menolak tunduk pada tatanan lama.
Di Prancis, suasana serupa meletup. Gelombang protes 10 September 2025, bertajuk Bloquons tout atau "Block Everything", menyapu Paris hingga kota-kota besar lain. Ribuan warga menolak rencana penghematan pemerintah Franois Bayrou yang memangkas dana kesehatan, membekukan pensiun, hingga menghapus dua hari libur nasional.
Di tengah biaya hidup yang kian menyesakkan, kebijakan itu dianggap pukulan telak bagi rakyat kecil. Terlalu elitis, terlalu jauh dari denyut penderitaan warga. Tak butuh waktu lama, tuntutan bergulir menjadi desakan politik dan Bayrou diminta mundur. Hanya sebulan berselang, tekanan publik mengguncang parlemen, dan Bayrou akhirnya tumbang.
Nepal dan Prancis memang berbeda. Di Nepal, perlawanan lahir dari represi dan korupsi yang menggerogoti sendi demokrasi. Di Prancis, krisis berakar pada kebijakan ekonomi yang dianggap timpang. Namun keduanya menyimpan benang merah, runtuhnya kepercayaan rakyat pada negara yang seharusnya melindungi.
Gelombang protes dari Nepal hingga Prancis bukan sekadar kerusuhan, melainkan teriakan rakyat yang menuntut demokrasi kembali pada makna sejatinya, yaitu kebebasan, keadilan, dan keberpihakan pada mereka yang selalu diabaikan oleh kekuasaan.Â
Kerusuhan serupa juga menyentuh Jepang. Negeri yang identik dengan keteraturan itu diguncang protes soal tenaga kerja asing dan beban sosial-ekonomi. Pemerintah berada di persimpangan. Membuka pintu migrasi untuk menopang ekonomi yang menua, atau menghadapi penolakan publik yang khawatir kehilangan identitas budaya.
Di Australia, konflik meletup dari isu pertambangan besar-besaran. Mahasiswa hingga masyarakat adat menolak proyek energi yang dianggap merusak lingkungan dan merampas tanah leluhur. Pemerintah membela diri, menyebut proyek itu vital untuk posisi Australia di pasar energi global.
Indonesia pun tak luput. Akhir Agustus lalu, kerusuhan menyapu sejumlah kota. Gedung DPR dan DPRD dibakar, dijarah, dan dijadikan sasaran amarah. Rakyat kehilangan kepercayaan pada wakilnya sendiri. Demokrasi prosedural terasa hampa, karena suara rakyat dianggap berhenti di bilik suara, tak pernah benar-benar sampai ke ruang kebijakan.
Jika dirajut bersama, benang merah kerusuhan ini membentuk pola global. Demokrasi, di banyak negara, tampak rapuh menghadapi tekanan ekonomi, sosial, dan politik. Kerap kali negara lebih memilih jalan represif atau kebijakan elitis yang memperlebar jurang dengan rakyatnya.
Dalam kacamata realisme, gejolak ini bisa dimaknai sebagai strategi negara mempertahankan stabilitas, meski harus mengorbankan kebebasan. Nepal melarang media sosial, Prancis memangkas anggaran, Jepang membuka migrasi, Australia mendorong tambang, dan Indonesia menguatkan aparatusnya. Semua demi "survival" negara di tengah kompetisi global.