Unjuk rasa damai di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Senin (1/9/2025), menghadirkan warna baru dalam lanskap politik Indonesia. Bukan hanya mahasiswa atau buruh yang turun ke jalan, melainkan pula influencer populer seperti Jovial dan Andovi da Lopez. Keduanya, bersama sederet tokoh muda lainnya, menggagas "17+8 Tuntutan Rakyat" yang kini viral di media sosial. Salah satu poin yang paling menarik perhatian publik adalah desakan kepada pemerintah untuk mencegah potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Tuntutan ini tidak muncul tanpa alasan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sejak 2023 hingga pertengahan 2025, gelombang PHK melanda berbagai sektor, dari manufaktur, tekstil, hingga perusahaan rintisan digital. Inflasi global, melemahnya daya beli, hingga restrukturisasi pasca-pandemi membuat perusahaan banyak mengambil jalan pintas dengan memangkas tenaga kerja.
PHK massal adalah ancaman nyata terhadap stabilitas sosial. Bagi kelas pekerja, kehilangan pekerjaan bukan hanya berarti hilangnya penghasilan, melainkan juga runtuhnya jaminan masa depan keluarga. Bagi negara, PHK besar-besaran memicu rantai masalah, dari meningkatnya pengangguran, membengkaknya beban jaminan sosial, hingga meningkatnya potensi kerusuhan sosial.
Dalam konteks inilah, desakan "17+8 Tuntutan Rakyat" menjadi relevan. Para influencer yang mempopulerkan tuntutan ini tampak memahami bahwa isu PHK tidak semata soal ekonomi, melainkan juga menyangkut politik kebangsaan. Rakyat menuntut negara hadir sebagai pelindung, bukan sekadar regulator yang netral.
Gelombang PHK massal bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga soal moralitas negara. Saat rakyat kehilangan pekerjaan, negara kehilangan martabatnya. Pemerintah harus memilih antara hadir melindungi buruh, atau abai hingga krisis sosial tak terbendung.Â
Pemerintah sebetulnya memiliki sejumlah instrumen untuk menekan risiko PHK massal. Pertama, kebijakan subsidi gaji atau wage subsidy program dapat diperluas, khususnya bagi buruh kontrak dan pekerja sektor padat karya. Kebijakan semacam ini pernah diterapkan di sejumlah negara Asia saat krisis pandemi, dengan dampak signifikan dalam menjaga keberlangsungan tenaga kerja.
Kedua, pemerintah perlu mendorong skema flexicurity, yaitu fleksibilitas pasar tenaga kerja yang diimbangi dengan keamanan sosial bagi pekerja. Artinya, kontrak kerja bisa lebih adaptif terhadap dinamika pasar, tetapi pekerja juga mendapatkan perlindungan berupa asuransi pengangguran, pelatihan ulang (reskilling), dan akses terhadap lapangan kerja baru.
Ketiga, kebijakan restrukturisasi pajak dan insentif fiskal harus diarahkan untuk memberi ruang napas bagi industri yang tertekan. Alih-alih membiarkan perusahaan menanggung beban penuh di tengah fluktuasi global, pemerintah bisa memberi keringanan pajak sepanjang perusahaan berkomitmen menjaga tenaga kerja.
Selain aspek ekonomi, ada pula dimensi sosial-politik yang harus diperhatikan. Gerakan "17+8 Tuntutan Rakyat" menjadi simbol solidaritas lintas kelas, dari aktivis hingga influencer. Kehadiran mereka menandakan bahwa isu ketenagakerjaan kini bukan lagi monopoli serikat buruh, tetapi telah menjadi kesadaran publik yang lebih luas.
Namun, kebijakan antisipasi PHK tidak boleh berhenti pada kebijakan jangka pendek. Pemerintah perlu membangun sistem ketenagakerjaan yang adaptif terhadap perubahan zaman. Digitalisasi, otomasi, dan transisi energi adalah tiga faktor utama yang akan mengubah lanskap kerja di masa depan. Tanpa persiapan, PHK akan terus berulang.
Dalam hal ini, program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) menjadi kunci. Pemerintah bisa bekerja sama dengan perusahaan teknologi, lembaga pendidikan tinggi, hingga organisasi masyarakat sipil untuk menyiapkan tenaga kerja yang siap menghadapi era baru industri.