Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Rakyat Melawan, Analisis Krisis Demokrasi Global 2025

14 September 2025   20:49 Diperbarui: 14 September 2025   20:49 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demonstrasi rakyat melawan perjalanan politik (Sumber: Kumparan)

Langkah kaki ribuan pemuda di Kathmandu, Nepal, menghentak jalanan sempit kota tua. Mereka membawa poster, berteriak lantang, dan menolak larangan penggunaan media sosial yang baru saja diberlakukan pemerintah. Bagi generasi muda Nepal, larangan itu bukan sekadar regulasi digital, melainkan simbol perampasan kebebasan berekspresi.

Demonstrasi itu tak berdiri sendiri. Korupsi, nepotisme, dan runtuhnya kepercayaan pada elite politik membuat api protes membesar. Jalanan Kathmandu menjelma arena perlawanan, diwarnai bentrokan panjang antara aparat dan rakyat. Nepal kini berdiri di ambang krisis legitimasi, dengan generasi mudanya menolak tunduk pada tatanan lama.

Di Prancis, suasana serupa meletup. Gelombang protes 10 September 2025, bertajuk Bloquons tout atau "Block Everything", menyapu Paris hingga kota-kota besar lain. Ribuan warga menolak rencana penghematan pemerintah Franois Bayrou yang memangkas dana kesehatan, membekukan pensiun, hingga menghapus dua hari libur nasional.

Di tengah biaya hidup yang kian menyesakkan, kebijakan itu dianggap pukulan telak bagi rakyat kecil. Terlalu elitis, terlalu jauh dari denyut penderitaan warga. Tak butuh waktu lama, tuntutan bergulir menjadi desakan politik dan Bayrou diminta mundur. Hanya sebulan berselang, tekanan publik mengguncang parlemen, dan Bayrou akhirnya tumbang.

Nepal dan Prancis memang berbeda. Di Nepal, perlawanan lahir dari represi dan korupsi yang menggerogoti sendi demokrasi. Di Prancis, krisis berakar pada kebijakan ekonomi yang dianggap timpang. Namun keduanya menyimpan benang merah, runtuhnya kepercayaan rakyat pada negara yang seharusnya melindungi.

Gelombang protes dari Nepal hingga Prancis bukan sekadar kerusuhan, melainkan teriakan rakyat yang menuntut demokrasi kembali pada makna sejatinya, yaitu kebebasan, keadilan, dan keberpihakan pada mereka yang selalu diabaikan oleh kekuasaan. 

Kerusuhan serupa juga menyentuh Jepang. Negeri yang identik dengan keteraturan itu diguncang protes soal tenaga kerja asing dan beban sosial-ekonomi. Pemerintah berada di persimpangan. Membuka pintu migrasi untuk menopang ekonomi yang menua, atau menghadapi penolakan publik yang khawatir kehilangan identitas budaya.

Di Australia, konflik meletup dari isu pertambangan besar-besaran. Mahasiswa hingga masyarakat adat menolak proyek energi yang dianggap merusak lingkungan dan merampas tanah leluhur. Pemerintah membela diri, menyebut proyek itu vital untuk posisi Australia di pasar energi global.

Indonesia pun tak luput. Akhir Agustus lalu, kerusuhan menyapu sejumlah kota. Gedung DPR dan DPRD dibakar, dijarah, dan dijadikan sasaran amarah. Rakyat kehilangan kepercayaan pada wakilnya sendiri. Demokrasi prosedural terasa hampa, karena suara rakyat dianggap berhenti di bilik suara, tak pernah benar-benar sampai ke ruang kebijakan.

Jika dirajut bersama, benang merah kerusuhan ini membentuk pola global. Demokrasi, di banyak negara, tampak rapuh menghadapi tekanan ekonomi, sosial, dan politik. Kerap kali negara lebih memilih jalan represif atau kebijakan elitis yang memperlebar jurang dengan rakyatnya.

Dalam kacamata realisme, gejolak ini bisa dimaknai sebagai strategi negara mempertahankan stabilitas, meski harus mengorbankan kebebasan. Nepal melarang media sosial, Prancis memangkas anggaran, Jepang membuka migrasi, Australia mendorong tambang, dan Indonesia menguatkan aparatusnya. Semua demi "survival" negara di tengah kompetisi global.

Namun, konstruktivisme kritis memberi bacaan berbeda. Krisis ini bukan sekadar soal kebijakan, melainkan tentang narasi yang dibangun negara dan ditolak masyarakat. Nepal mencoba membungkam wacana digital, tapi Gen Z menolak. Prancis mengusung wacana efisiensi neoliberal, tapi rakyat menuntut keadilan sosial.

Ketika jalanan menjadi ruang politik, itu artinya institusi demokrasi gagal menjawab aspirasi rakyat. Dari Gen Z Nepal hingga pekerja Prancis, satu pesan jelas bahwa demokrasi tak bisa hidup tanpa kepercayaan, keadilan, dan legitimasi. 

Jepang menghadapi benturan identitas budaya, Australia digugat oleh wacana keadilan ekologis, sementara Indonesia berhadapan dengan tuntutan demokrasi substantif. Di sinilah terlihat bahwa demokrasi tak bisa hanya dipertahankan lewat prosedur, angka anggaran, atau dalih pembangunan. Ia hidup dari legitimasi yang lahir dari makna dan norma bersama.

Krisis legitimasi inilah yang kini mengguncang demokrasi global. Generasi muda, dengan akses digital yang luas, semakin kritis. Mereka tidak ragu menantang narasi negara jika dirasa menyalahi prinsip kebebasan dan keadilan. Di berbagai benua, dari Kathmandu hingga Paris, jalanan menjadi ruang politik baru.

Pertanyaannya kini, apakah demokrasi akan runtuh oleh amarah rakyatnya sendiri? Jawabannya bergantung pada bagaimana negara menyeimbangkan logika realisme, yaitu stabilitas dan kekuatan, dengan kesadaran konstruktivis bahwa legitimasi hanya bisa bertahan jika nilai, keadilan, dan makna berpihak pada rakyat. Jika tidak, demokrasi akan terus retak, dan jalanan akan selalu menjadi saksi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun