Tanggal 31 Juli 2025 menandai akhir sebuah era dalam sejarah penerbangan Asia. Maskapai Jetstar Asia, anak usaha dari Qantas Australia yang sudah beroperasi selama dua dekade, resmi menghentikan operasinya. Penerbangan terakhirnya, 3K764 dari Manila, mendarat di Bandara Changi, Singapura, menjadi simbol berakhirnya perjalanan panjang maskapai bertarif rendah yang pernah menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat Asia.
Jetstar Asia bukan sekadar maskapai, namun simbol perubahan sosial dan ekonomi dalam dunia penerbangan. Sejak berdiri pada 2004, Jetstar memberi akses terbang bagi jutaan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang sebelumnya tidak memiliki pilihan terbang terjangkau. Dalam banyak hal, Jetstar menjadi pionir yang membuka langit Asia bagi semua kalangan.
Sebagai maskapai bertarif rendah, Jetstar berhasil menjelma menjadi kekuatan kompetitif di kawasan. Pada 2011, mereka mencatat rata-rata 2,7 juta penumpang per tahun dengan layanan ke 16 destinasi utama di Asia. Capaian ini tentu bukan angka kecil, mengingat bisnis penerbangan merupakan sektor padat modal dengan margin keuntungan yang sangat tipis.
Namun seperti banyak kisah perusahaan besar, kebangkitan Jetstar juga bertemu dengan kenyataan pahit. Persaingan brutal di sektor low-cost carrier (LCC), seperti dengan AirAsia dan Scoot, menempatkan Jetstar dalam posisi yang kian terhimpit. Kenaikan harga avtur, onderdil pesawat, serta tekanan inflasi global menjadi beban berat yang tidak mampu lagi ditanggung oleh model bisnis yang menekankan efisiensi biaya ekstrem.
Maskapai murah membuka langit bagi semua, namun manajemen tanpa adaptasi akan membuat sayapnya patah. Jetstar Asia mengajarkan bahwa efisiensi tanpa inovasi adalah jalan menuju kehancuran.
Pandemi Covid-19 menjadi guncangan pertama yang hampir melumpuhkan Jetstar. Meski mereka mampu pulih dengan menerbangkan 2,3 juta penumpang pada 2024 dan mempertahankan load factor sebesar 75 persen, biaya operasional yang melonjak 200 persen membuat keberlanjutan bisnisnya goyah. Qantas, induk perusahaan Jetstar, akhirnya mengambil keputusan pahit dengan menutup Jetstar dan memutuskan hubungan kerja dengan 500 stafnya.
Keputusan ini dipandang sebagai langkah penyelamatan strategis. Qantas menghitung kerugian Jetstar hingga akhir 2025 akan mencapai AUD 35 juta. Bila dipertahankan, kerugian jangka panjang bisa menggerus kinerja keuangan grup. Dengan menutup Jetstar, Qantas dapat menghemat hingga AUD 500 juta dan mengalihkan fokus ke jalur penerbangan Australia--Selandia Baru yang lebih menguntungkan.
Penutupan Jetstar memunculkan satu ironi besar dalam dunia manajemen bisnis kedirgantaraan, bahwa model bisnis maskapai murah yang revolusioner pada awal 2000-an kini mulai menunjukkan titik jenuh. Ceruk pasar yang dulu tampak tak terbatas kini justru penuh sesak, dengan terlalu banyak maskapai yang bersaing dengan margin supertipis dan ketergantungan tinggi pada volume penumpang.
Dalam praktiknya, model bisnis LCC seringkali menempatkan efisiensi di atas kenyamanan dan kepuasan pelanggan. Banyak konsumen mengeluhkan jadwal yang sering berubah mendadak, kebersihan kabin yang kurang, dan layanan tambahan yang semua dikenakan biaya. Inilah harga yang harus dibayar dari tiket murah. Dalam jangka panjang, ini menciptakan ketidakpuasan dan menurunkan loyalitas pelanggan.
Masalahnya, bisnis maskapai tidak bisa hanya bergantung pada tarif rendah semata. Ketika harga bahan bakar naik, gaji pekerja meningkat, dan nilai tukar berfluktuasi, maka sistem tarif rendah menjadi tidak berkelanjutan. Maskapai seperti Jetstar terjebak dalam model bisnis yang tidak fleksibel menghadapi tekanan makroekonomi global yang semakin kompleks.
Penutupan Jetstar menjadi peringatan keras bagi seluruh manajemen maskapai, terutama di kawasan Asia Tenggara. Di era pasca-pandemi dan ketidakpastian geopolitik global, kelangsungan bisnis tidak bisa hanya mengandalkan model lama. Dibutuhkan diversifikasi, inovasi layanan, dan adaptasi terhadap tren digitalisasi serta keberlanjutan lingkungan.