Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Jetstar Asia Bangkrut! Akhir Era Maskapai Murah di Asia

4 Agustus 2025   06:14 Diperbarui: 4 Agustus 2025   06:14 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maskapai Jetstar tutup operasi sejak 31 Juli 2025 (Sumber: straitstimes.com)

Tanggal 31 Juli 2025 menandai akhir sebuah era dalam sejarah penerbangan Asia. Maskapai Jetstar Asia, anak usaha dari Qantas Australia yang sudah beroperasi selama dua dekade, resmi menghentikan operasinya. Penerbangan terakhirnya, 3K764 dari Manila, mendarat di Bandara Changi, Singapura, menjadi simbol berakhirnya perjalanan panjang maskapai bertarif rendah yang pernah menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat Asia.

Jetstar Asia bukan sekadar maskapai, namun simbol perubahan sosial dan ekonomi dalam dunia penerbangan. Sejak berdiri pada 2004, Jetstar memberi akses terbang bagi jutaan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang sebelumnya tidak memiliki pilihan terbang terjangkau. Dalam banyak hal, Jetstar menjadi pionir yang membuka langit Asia bagi semua kalangan.

Sebagai maskapai bertarif rendah, Jetstar berhasil menjelma menjadi kekuatan kompetitif di kawasan. Pada 2011, mereka mencatat rata-rata 2,7 juta penumpang per tahun dengan layanan ke 16 destinasi utama di Asia. Capaian ini tentu bukan angka kecil, mengingat bisnis penerbangan merupakan sektor padat modal dengan margin keuntungan yang sangat tipis.

Namun seperti banyak kisah perusahaan besar, kebangkitan Jetstar juga bertemu dengan kenyataan pahit. Persaingan brutal di sektor low-cost carrier (LCC), seperti dengan AirAsia dan Scoot, menempatkan Jetstar dalam posisi yang kian terhimpit. Kenaikan harga avtur, onderdil pesawat, serta tekanan inflasi global menjadi beban berat yang tidak mampu lagi ditanggung oleh model bisnis yang menekankan efisiensi biaya ekstrem.

Maskapai murah membuka langit bagi semua, namun manajemen tanpa adaptasi akan membuat sayapnya patah. Jetstar Asia mengajarkan bahwa efisiensi tanpa inovasi adalah jalan menuju kehancuran.

Pandemi Covid-19 menjadi guncangan pertama yang hampir melumpuhkan Jetstar. Meski mereka mampu pulih dengan menerbangkan 2,3 juta penumpang pada 2024 dan mempertahankan load factor sebesar 75 persen, biaya operasional yang melonjak 200 persen membuat keberlanjutan bisnisnya goyah. Qantas, induk perusahaan Jetstar, akhirnya mengambil keputusan pahit dengan menutup Jetstar dan memutuskan hubungan kerja dengan 500 stafnya.

Keputusan ini dipandang sebagai langkah penyelamatan strategis. Qantas menghitung kerugian Jetstar hingga akhir 2025 akan mencapai AUD 35 juta. Bila dipertahankan, kerugian jangka panjang bisa menggerus kinerja keuangan grup. Dengan menutup Jetstar, Qantas dapat menghemat hingga AUD 500 juta dan mengalihkan fokus ke jalur penerbangan Australia--Selandia Baru yang lebih menguntungkan.

Penutupan Jetstar memunculkan satu ironi besar dalam dunia manajemen bisnis kedirgantaraan, bahwa model bisnis maskapai murah yang revolusioner pada awal 2000-an kini mulai menunjukkan titik jenuh. Ceruk pasar yang dulu tampak tak terbatas kini justru penuh sesak, dengan terlalu banyak maskapai yang bersaing dengan margin supertipis dan ketergantungan tinggi pada volume penumpang.

Dalam praktiknya, model bisnis LCC seringkali menempatkan efisiensi di atas kenyamanan dan kepuasan pelanggan. Banyak konsumen mengeluhkan jadwal yang sering berubah mendadak, kebersihan kabin yang kurang, dan layanan tambahan yang semua dikenakan biaya. Inilah harga yang harus dibayar dari tiket murah. Dalam jangka panjang, ini menciptakan ketidakpuasan dan menurunkan loyalitas pelanggan.

Masalahnya, bisnis maskapai tidak bisa hanya bergantung pada tarif rendah semata. Ketika harga bahan bakar naik, gaji pekerja meningkat, dan nilai tukar berfluktuasi, maka sistem tarif rendah menjadi tidak berkelanjutan. Maskapai seperti Jetstar terjebak dalam model bisnis yang tidak fleksibel menghadapi tekanan makroekonomi global yang semakin kompleks.

Penutupan Jetstar menjadi peringatan keras bagi seluruh manajemen maskapai, terutama di kawasan Asia Tenggara. Di era pasca-pandemi dan ketidakpastian geopolitik global, kelangsungan bisnis tidak bisa hanya mengandalkan model lama. Dibutuhkan diversifikasi, inovasi layanan, dan adaptasi terhadap tren digitalisasi serta keberlanjutan lingkungan.

Ke depan, manajemen bisnis maskapai perlu memikirkan ulang strategi nilai. Segmentasi pasar harus lebih cermat. Tidak cukup hanya membidik "murah" sebagai daya tarik, tetapi juga bagaimana menjamin stabilitas operasional, layanan yang konsisten, dan pengalaman pelanggan yang lebih baik. Maskapai masa depan bukan hanya tentang efisiensi, tapi juga tentang nilai tambah dan kelincahan merespons pasar.

Tumbangnya Jetstar juga memperlihatkan pentingnya strategi manajemen risiko yang lebih komprehensif dalam industri kedirgantaraan. Ketergantungan pada satu ceruk pasar menjadikan sebuah maskapai rentan terhadap guncangan. Diversifikasi armada, rute, dan model layanan menjadi kebutuhan strategis dalam dunia yang cepat berubah.

Dunia berubah. Bisnis kedirgantaraan pun harus berubah. Yang tidak siap menyesuaikan diri dengan harga, pasar, dan teknologi akan tertinggal di hanggar sejarah. 

Selain itu, pemerintah dan regulator penerbangan juga harus mengevaluasi kembali regulasi dan ekosistem yang mendukung maskapai bertarif rendah. Subsidi silang, insentif pajak, dan investasi pada bandara sekunder dapat menjadi cara untuk menjaga keberlanjutan maskapai dalam mendukung konektivitas regional.

Bagi dunia akademik dan pendidikan tinggi misalnya, tumbangnya Jetstar menjadi studi kasus nyata mengenai ketahanan bisnis kedirgantaraan. Ini pelajaran penting tentang pentingnya inovasi model bisnis, manajemen biaya berkelanjutan, dan pentingnya kebijakan adaptif di tengah guncangan global.

Akhir dari Jetstar Asia bukan sekadar berita penutupan maskapai. Ia adalah refleksi dari dinamika industri penerbangan yang terus bergerak dan menuntut perubahan. Bagi maskapai lain, ini saatnya merenung dan bersiap, karena dalam langit kompetisi yang makin sesak, hanya mereka yang adaptif, inovatif, dan berani berubah yang akan tetap terbang tinggi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun