Sayangnya, dalam banyak kasus di Asia Tenggara, nasionalisme digunakan sebagai alat konsolidasi kekuasaan domestik. Perang, seperti yang terjadi kini, bisa menjadi komoditas politik bagi elit untuk meraih simpati atau menyelamatkan elektabilitas. Dalam pandangan realis, konflik semacam ini adalah instrumen untuk menunjukkan kekuatan. Dalam kacamata studi perdamaian, ini adalah tragedi yang bisa dicegah.
Dampak kemanusiaan dari konflik ini sangat serius. Lebih dari 100.000 warga sipil harus mengungsi, ratusan lainnya luka-luka, dan trauma psikologis menyebar luas di kedua sisi perbatasan. Rumah sakit yang terkena roket, minimarket yang hancur, dan anak-anak yang menangis di tenda pengungsian adalah bukti bahwa konflik antarnegara selalu gagal melindungi warga sipil.
Di tengah kekacauan ini, ASEAN tampak gagap. Sebagai Ketua ASEAN saat ini, Malaysia menawarkan diri sebagai fasilitator dialog. Namun ketidaksediaan Thailand untuk membuka ruang bagi mediasi menunjukkan lemahnya mekanisme resolusi konflik regional. Inilah saatnya bagi ASEAN untuk mengkaji ulang instrumen keamanannya, termasuk kemungkinan pembentukan early warning system dan tim penjaga perdamaian regional.
Sementara itu, keterlibatan Amerika Serikat dan Tiongkok dalam upaya diplomasi justru membuka ruang baru. Ini bisa menjadi awal bagi diplomasi multitrack, di mana aktor-aktor non-negara, organisasi internasional, dan civil society turut menjadi bagian dari proses damai. Solusi tidak harus selalu datang dari meja para jenderal dan diplomat senior.
Bagi para akademisi dan praktisi hubungan internasional, konflik Thailand-Kamboja 2025 ini adalah pengingat keras bahwa damai adalah proses, bukan kondisi yang terjadi tiba-tiba. Damai membutuhkan kerja keras, kesabaran, dan kesediaan untuk mendengarkan. Jika tidak, sejarah akan terus mengulang dirinya dalam bentuk perang yang sama dengan nama berbeda.
Perdamaian bukanlah hadiah dari elite, melainkan hasil perjuangan masyarakat yang tak ingin mewariskan dendam, tetapi membangun masa depan bersama.Â
Thailand dan Kamboja kini berdiri di persimpangan. Mereka bisa memilih melanjutkan konflik yang melelahkan ini, atau membuka jalan dialog yang bermartabat. Keduanya adalah bangsa besar yang memiliki warisan budaya yang kaya dan rakyat yang tangguh. Namun tidak ada kebesaran yang lahir dari kebrutalan senjata.
Dalam situasi seperti ini, penting bagi masyarakat sipil, media, dan komunitas akademik untuk bersuara. Perdamaian bukan milik elit semata. Ketika suara damai dikumandangkan dari berbagai sisi, tekanan terhadap aktor negara akan semakin kuat untuk mengakhiri permusuhan.
Konflik Thailand-Kamboja tidak hanya persoalan dua negara, tapi juga ujian bagi masa depan keamanan Asia Tenggara. Apakah kita akan terus membiarkan nasionalisme sempit membakar rumah kita sendiri, ataukah kita akan belajar membangun perdamaian yang kokoh di atas reruntuhan sejarah? Jawabannya ada pada tindakan hari ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI