Saya sering menjumpai fenomena klasik, orangtua yang merasa canggung bahkan marah saat anak menanyakan, "Berapa gaji Papa Mama?"Â
Pertanyaan ini seakan mengusik wilayah privat yang tabu untuk dibicarakan di meja makan. Padahal, justru di sanalah letak peluang pendidikan keuangan paling penting dimulai, dari rumah, sejak dini.
Uang adalah topik yang sensitif, tak terkecuali dalam lingkup keluarga. Namun menyikapi uang sebagai sesuatu yang "tidak boleh dibicarakan" hanya akan menciptakan jurang ketidaktahuan dalam diri anak.Â
Berdasarkan teori psikologi perkembangan keluarga, anak-anak khususnya yang berusia di atas 7 tahun, sudah mampu memahami konsep sederhana tentang pemasukan dan pengeluaran.Â
Tentu jika dijelaskan dengan bahasa yang tepat. Menutup-nutupi gaji justru bisa menjadi pemicu rasa penasaran berlebih dan bahkan ketidakpercayaan terhadap orangtua.
Penting dipahami bahwa berbicara tentang gaji bukan berarti membuka seluruh slip pendapatan. Hal yang utama adalah memberikan pemahaman menyeluruh kepada anak tentang bagaimana uang bekerja di dalam keluarga.Â
Psikologi finansial menekankan bahwa kesadaran terhadap alokasi uang dapat membentuk sikap mental yang lebih bijak dalam mengatur keuangan ketika mereka dewasa.
Masalah muncul ketika orangtua merasa anak belum mampu menjaga rahasia atau khawatir anak akan membanding-bandingkan gaji orangtuanya dengan orang lain.Â
Kekhawatiran ini tidak sepenuhnya keliru. Namun, tugas pendidikan bukan menjauhkan anak dari kenyataan, melainkan membimbing mereka memahami kenyataan dengan cara yang sehat. Edukasi finansial tidak berarti mengajarkan anak menjadi materialistis, melainkan membentuk mentalitas realistis.
Sampaikan kepada anak dengan bahasa sesuai usianya. "Papa dan Mama bekerja untuk bisa membayar rumah, belanja makanan, dan kebutuhan sekolah kamu." Anak tidak perlu tahu angka detail, tapi cukup memahami struktur dasar pengeluaran.Â
Ini sejalan dengan teori Erik Erikson tentang tahap perkembangan psikososial anak, yang menyebutkan bahwa anak pada usia sekolah berada pada fase industry vs inferiority, di mana mereka ingin merasa kompeten dan berkontribusi.
Mengajarkan anak tentang uang bukan soal nominal, tapi soal nilai. Saat anak tahu dari mana uang berasal dan ke mana ia pergi, di situlah tumbuh rasa hormat, tanggung jawab, dan empati terhadap perjuangan orangtuanya.
Salah satu kunci sukses dalam membentuk literasi keuangan anak adalah menciptakan suasana dialog yang hangat, bukan menyeramkan. Hindari kalimat seperti "Itu bukan urusanmu" karena bisa menimbulkan perasaan ditolak, tidak dipercaya, atau bahkan rasa bersalah hanya karena ingin tahu.Â
Respon semacam itu dapat menghambat terbentuknya ikatan emosional yang sehat antara anak dan orangtua dalam hal keuangan.
Libatkan anak dalam diskusi kecil saat berbelanja bulanan, atau saat membahas rencana liburan keluarga. Jelaskan mengapa kita memilih merek tertentu, mengapa kita menunda membeli sesuatu, atau bagaimana kita menabung untuk tujuan bersama. Anak akan mulai memahami bahwa setiap keluarga punya prioritas keuangan yang berbeda.
Hal penting lainnya adalah memperkenalkan konsep "kebutuhan" dan "keinginan". Ini akan membentuk pola pikir kritis anak sejak dini. Ajarkan bahwa membeli sesuatu karena dibutuhkan lebih penting daripada karena sedang tren.Â
Anak juga perlu tahu bahwa ada keluarga yang lebih kaya atau lebih miskin dari keluarganya, dan itu bukan hal yang perlu disesali atau disombongkan, melainkan dipahami sebagai realitas hidup.
Psikologi finansial menekankan bahwa kedekatan emosional dengan uang terbentuk dari pengalaman masa kecil. Anak yang diajak berdiskusi tentang keuangan sejak dini cenderung memiliki kontrol finansial yang lebih baik saat dewasa. Mereka lebih menghargai proses kerja keras dan tidak gampang menuntut secara konsumtif.
Hal yang perlu dijaga adalah batas antara transparansi dan beban. Anak tidak perlu dijejali keluhan soal cicilan rumah, utang kartu kredit, atau tekanan ekonomi orangtua. Hal ini hanya akan menciptakan beban psikologis yang mengganggu perkembangan mental mereka.Â
Fokuskan pada pesan yang membangun bahwa keluarga selalu berusaha bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan, bukan hanya bergantung pada uang semata.
Membangun komunikasi keuangan dalam keluarga juga bisa menjadi momen menciptakan kenangan yang bermakna.Â
Gunakan waktu berkumpul untuk bermain permainan simulasi belanja, membuat anggaran mainan mingguan, atau menantang anak untuk menabung demi hadiah yang mereka inginkan. Proses ini menyenangkan dan edukatif.
Kesadaran keuangan yang sehat dalam keluarga akan membentuk pola generasi baru yang tidak hanya melek uang, tapi juga tahu bagaimana menghormatinya. Di tengah gempuran budaya konsumerisme, nilai-nilai seperti cukup, bersyukur, dan hemat menjadi sangat penting untuk ditanamkan.
Bicara uang dengan anak bukan membebani, tapi membekali. Keterbukaan finansial di rumah menanamkan kepercayaan dan membentuk karakter tangguh yang tahu cara bersyukur, memilih prioritas, dan hidup sesuai kemampuan
Akhirnya, keterbukaan dalam hal keuangan bukan semata tentang uang, tetapi tentang membangun kepercayaan dan kemandirian dalam hubungan orangtua-anak.Â
Ktika anak bertanya, "Berapa gaji Papa Mama?", itu bukan sekadar ingin tahu, tetapi tanda bahwa mereka siap diajak menjadi bagian dari realitas kehidupan.
Daripada menghindari pertanyaan itu, mari jadikan sebagai pintu masuk menuju pendidikan finansial keluarga yang sehat. Sebab keluarga bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga tempat belajar kehidupan, termasuk belajar tentang uang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI