Pada tahun 2009, saya resmi menginjakkan kaki di Jakarta dengan status sebagai pegawai baru di sebuah instansi pemerintah. Gaji pertama saya saat itu adalah Rp2,5 juta. Tidak besar memang, bahkan untuk ukuran ibukota kala itu, angka ini nyaris pas-pasan. Namun, saya tahu, tanggung jawab saya jauh lebih besar daripada nominal yang saya terima.
Saya adalah anak dengan adik yang masih dalam tanggungan dua saudara. Ayah telah tiada tiga tahun sebelumnya, dan ibu tinggal di kampung mengasuh adik-adik saya yang masih duduk di bangku SMP. Untungnya, ada sedikit warisan berupa uang pensiun ayah yang bisa membantu kebutuhan dasar di kampung. Tapi biaya sekolah adik-adik dan kebutuhan harian ibu tetap menjadi tanggung jawab saya.
Kontrakan kecil di Jakarta yang saya tinggali kala itu seharga Rp500 ribu per bulan. Dari sisa Rp2 juta, saya menghabiskan sekitar Rp900 ribu untuk makan, transportasi, dan kebutuhan harian. Maka, tersisalah sekitar Rp1,1 juta. Di sinilah tantangan sebenarnya dimulai, bagaimana menyulap uang yang tersisa menjadi berkah untuk keluarga di kampung halaman?
Saya menetapkan anggaran kiriman ke kampung sebesar Rp1 juta. Sisanya, hanya Rp100 ribu, itupun saya cadangkan untuk keadaan darurat. Saat banyak orang seusia saya memilih merayakan gaji pertama dengan belanja gadget, makan mewah, atau jalan-jalan, saya memilih merayakannya dalam diam, dalam bentuk tanggung jawab.
Saya sadar, saya harus menabung. Tapi bukan dalam bentuk uang biasa. Saat itu, harga emas masih Rp400 ribu per gram. Maka saya putuska, setiap dua bulan sekali, saya akan menyisihkan dan menghasilkan pendapatan lain Rp800 ribu untuk membeli 2 gram emas. Emas saya anggap sebagai tabungan tahan inflasi dan mudah dicairkan kelak saat dibutuhkan.
Kebiasaan ini saya jalani selama lima tahun. Tanpa terasa, saya berhasil mengumpulkan 50 gram emas. Nilai emasnya terus naik. Dan tepat di tahun kelima, emas inilah yang saya gunakan untuk membiayai kuliah sarjana adik-adik saya, sekaligus menjadi modal awal pernikahan saya.
Gaji pertama bukan soal jumlahnya, tapi tentang bagaimana kamu memperlakukan tanggung jawab. Uang bisa habis dalam sehari, tapi keputusan bijak dari gaji pertamamu bisa membangun pondasi hidup yang kuat untuk puluhan tahun ke depan.
Pengelolaan gaji pertama sangat menentukan arah keuangan kita selanjutnya. Jika sejak awal kita terbiasa konsumtif, maka pola itu akan melekat dan sulit diubah. Tapi jika sejak awal kita memilih bijak, maka setiap penghasilan akan menjadi alat bantu untuk naik kelas secara mental dan finansial.
Saya ingin berbagi beberapa tips sederhana namun efektif dalam mengelola gaji pertama. Jangan terburu-buru membelanjakan semua. Rayakan secukupnya. Gaji pertama bukanlah momen untuk pembuktian sosial, tapi fondasi awal kedewasaan finansial. Kita mesti bisa membuat anggaran tetap. Pisahkan pos kebutuhan harian, tabungan, darurat, dan keluarga jika ada tanggungan. Disiplin dalam menjalankan ini akan membuat keuangan lebih teratur.
Mulailah menabung dalam bentuk aset. Emas adalah pilihan yang baik di saat harga belum terlalu tinggi. Anda juga bisa mempertimbangkan reksa dana atau deposito, tergantung profil risiko. Sisihkan untuk darurat. Uang Rp100 ribu yang saya simpan tiap bulan dulu, pada akhirnya menyelamatkan saya saat harus membayar biaya berobat mendadak atau perbaikan motor ke bengkel. Jangan remehkan tabungan kecil. Jika memungkinkan, sisihkan untuk beli buku, atau belajar keterampilan baru. Ini adalah investasi jangka panjang terbaik.
Gaji pertama saya tidak mengubah dunia. Tapi ia mengubah cara saya melihat dunia. Bahwa uang adalah alat, bukan tujuan. Bahwa tanggung jawab adalah bentuk tertinggi dari kedewasaan. Dan bahwa merantau bukan tentang mencari uang semata, tapi tentang membentuk karakter yang kokoh.