Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

AS dan Veto Gaza, Apakah PBB Masih Layak Disebut Penjaga Perdamaian?

5 Juni 2025   11:36 Diperbarui: 5 Juni 2025   11:36 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidang Dewan Keamanan PBB bahas gencatan senjata di Jalur Gaza (Sumber: detik.com)

Langkah Amerika Serikat yang kembali menggunakan hak veto dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada 4 Juni 2025 untuk menggagalkan resolusi gencatan senjata di Gaza, kembali menorehkan luka mendalam dalam sejarah diplomasi internasional. Dunia menyaksikan bagaimana mekanisme yang seharusnya menjadi pelindung perdamaian global, justru menjadi alat pembenaran kelanjutan kekerasan.

Resolusi yang diveto itu memuat seruan penting, yaitu gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen di Gaza, serta jaminan atas masuknya bantuan kemanusiaan tanpa hambatan. Bukan sekadar retorika kemanusiaan, dokumen ini merupakan bentuk konkret implementasi prinsip-prinsip hukum humaniter internasional yang mewajibkan perlindungan terhadap warga sipil selama konflik.

Dalih Washington bahwa resolusi ini "mengganggu upaya diplomatik" justru mengundang ironi. Dalam hukum internasional, diplomasi bukan menjadi alasan untuk menunda penghentian kekerasan yang telah menewaskan lebih dari 35.000 jiwa dan memaksa dua juta warga Gaza hidup dalam keterbatasan dasar. Diplomasi dan penghentian kekerasan tidaklah saling menafikan.

Dewan Keamanan PBB merupakan pilar utama sistem keamanan kolektif internasional. Namun, hak veto yang dimiliki lima negara tetap, terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan Tiongkok, telah menjelma menjadi 'lisensi' ketimpangan kekuasaan global. Hukum internasional seharusnya menjunjung tinggi asas sovereign equality of states, namun praktiknya tidak demikian.

Veto Amerika terhadap resolusi yang disusun oleh 10 negara anggota tidak tetap, yang merepresentasikan suara lintas kawasan global, menunjukkan betapa tatanan internasional masih tersandera kepentingan geopolitik segelintir negara adikuasa. Ini bertentangan dengan semangat Piagam PBB Pasal 24(1) yang menyatakan bahwa DK bertanggung jawab atas perdamaian dan keamanan dunia. Hukum keamanan internasional menghendaki akuntabilitas dan legitimasi dalam pengambilan keputusan. Bila sebuah lembaga multilateral seperti DK PBB justru digunakan untuk menghambat upaya penyelamatan warga sipil, maka legitimasi moral dan hukum dari lembaga tersebut layak dipertanyakan.

Ketika satu negara bisa menunda perdamaian dengan satu veto, maka dunia tak sedang dijaga oleh hukum, melainkan dikendalikan oleh kekuasaan. Keadilan sejati tak boleh tunduk pada kepentingan politik.

Pemblokiran Gaza selama dua bulan oleh Israel, dengan hanya mengizinkan sejumlah kecil truk bantuan masuk, merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 yang menjamin akses kemanusiaan bagi warga sipil. Namun, alih-alih menghentikan blokade, veto AS justru memperpanjang penderitaan.

Penggunaan hak veto ini juga menghambat prinsip Responsibility to Protect (R2P) yang telah diadopsi oleh PBB sejak 2005, yakni tanggung jawab komunitas internasional untuk melindungi populasi dari kejahatan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Maka, seruan untuk mereformasi DK PBB menjadi relevan dan mendesak. Indonesia, bersama banyak negara berkembang lainnya, telah secara konsisten mendorong penghapusan atau pembatasan hak veto, serta memperluas keanggotaan DK agar lebih inklusif dan demokratis. Kelompok G4, meliputi Brasil, Jerman, India, dan Jepang, juga telah lama menyuarakan perlunya penambahan anggota tetap dari kawasan Global South. Tuntutan ini mencerminkan kesadaran bahwa arsitektur keamanan dunia tidak bisa terus dikendalikan oleh lima negara pasca-Perang Dunia II.

Dalam Sidang Majelis Umum PBB yang berlangsung sejak September 2024, isu reformasi PBB, termasuk sistem keuangan dan Dewan HAM, telah menjadi agenda strategis. Negara-negara berkembang mulai menyatukan suara untuk melawan hegemoni veto yang melemahkan semangat kolektif multilateral.

Salah satu gagasan reformasi adalah memberikan batasan atas frekuensi dan kondisi penggunaan hak veto, termasuk mekanisme override oleh mayoritas anggota Majelis Umum dalam situasi darurat kemanusiaan. Model ini diusulkan agar suara mayoritas dunia tidak dikandaskan oleh satu negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun