Kelemahan juga terlihat dalam sistem pemulihan fisik dan manajemen stamina. Dalam pertandingan dengan intensitas tinggi seperti Super Series 500, atlet membutuhkan pola recovery berbasis individual, bukan sekadar latihan fisik konvensional. Tanpa pendekatan nutrisi, fisiologi olahraga, dan pemantauan beban latihan, atlet kita akan kelelahan secara akumulatif di tiap babak.
Sudah saatnya PBSI dan stakeholder bulu tangkis Indonesia melakukan revolusi sistemik. Pembinaan atlet tidak bisa lagi bersifat one-size-fits-all. Atlet perlu dikelola seperti aset strategis, dengan pendekatan personalisasi data performa, pelatihan mental berbasis neuropsikologi, serta integrasi kecerdasan buatan untuk analisis taktik lawan dan diri sendiri.
Ketika lawan belajar dengan teknologi dan kita masih mengandalkan intuisi, kekalahan bukan kejutan, namun itu konsekuensi. Saatnya bulu tangkis Indonesia bergerak dengan ilmu, bukan hanya semangat.Â
Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan mulai dari pusat pelatihan nasional hingga klub akar rumput. Sistem scouting harus berbasis merit dan objektivitas data performa. Pelatih-pelatih daerah perlu dibekali pelatihan teknik modern agar dapat melahirkan atlet dengan mental kompetitif sejak usia belia. Tanpa ini, kita akan terus tertinggal meski bertabur talenta.
Tumbangnya sejumlah wakil unggulan Indonesia di Thailand Open 2025 bukanlah akhir dari segalanya. Namun ini adalah tanda bahaya nyata jika kita terus menunda transformasi. Ranking tidak lagi cukup. Dunia bulu tangkis bergerak cepat, dan hanya mereka yang berani beradaptasi dengan pendekatan ilmu, data, dan inovasi yang akan bertahan dan menang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI