Sebagai guru besar dan akademisi, saya mendorong agar pendidikan hukum di Indonesia mulai lebih serius memasukkan kurikulum antikorupsi, pelatihan moral keadilan, dan praktik klinik hukum yang berorientasi pada pelayanan publik. Jangan sampai fakultas hukum hanya menghasilkan "teknokrat hukum" tanpa nurani.
Kita juga harus membangun meritokrasi yang kuat dalam pengangkatan dan promosi hakim. Rekam jejak integritas, kemampuan menulis putusan yang beralasan, dan sikap antikorupsi harus menjadi indikator utama, bukan sekadar senioritas atau kedekatan personal.
Ketika hukum jadi komoditas, keadilan mati pelan-pelan. Tapi saat integritas ditegakkan, harapan rakyat kembali hidup di ruang sidang.Â
Perlu juga kita dorong Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk menyusun Judicial Ethics Report yang dipublikasikan setiap tahun. Laporan ini akan menjadi cermin publik dan pengingat bahwa hakim bukan di atas hukum, tetapi justru berada di bawah sorotan moral masyarakat.
Perombakan ini akan sia-sia jika tidak disertai dengan upaya membangun ekosistem baru. Mafia peradilan akan selalu mencari celah, dan hanya sistem yang kokoh serta transparan yang mampu menjadi tameng. Jika hukum adalah panglima, maka keadilan harus menjadi ruhnya.
Momentum ini adalah panggilan sejarah. Peradilan tidak hanya tempat mencari keadilan, tapi juga benteng terakhir rakyat kecil. Jika benteng ini jebol karena ulah para penghuninya, maka negara hukum akan menjadi ilusi. Mari kita jadikan perombakan hakim bukan sebagai akhir, tetapi sebagai awal dari peradilan yang berintegritas. Semoga langkah ini tidak berhenti sebagai agenda administratif, tetapi menjadi tonggak revolusi mental dan struktural lembaga peradilan Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI