Pendidikan bukan hanya instrumen pembangunan, melainkan pilar utama dalam membentuk masa depan suatu bangsa. Ketika pendidikan menyentuh setiap lapisan masyarakat tanpa diskriminasi, maka kemajuan kolektif menjadi keniscayaan. Inilah dasar moral sekaligus logika kebijakan yang melatarbelakangi pendirian Sekolah Rakyat oleh Kementerian Sosial (Kemensos) RI, yang mulai tahun ajaran 2025/2026 akan hadir di 53 titik dan menyusul 147 sekolah lainnya sepanjang tahun berjalan.
Langkah ini tentu memicu diskusi publik, khususnya terkait posisi Kementerian Sosial sebagai koordinator utama program pendidikan yang secara normatif merupakan ranah Kementerian Pendidikan. Namun, justru di sinilah menariknya analisis kebijakan publik, bagaimana sebuah kebijakan lintas sektor dapat menjawab persoalan sosial yang kompleks, seperti kemiskinan struktural dengan pendekatan yang tidak konvensional.
Menurut teori policy cycle, setiap kebijakan publik idealnya melewati empat tahap penting, berupa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Dalam konteks Sekolah Rakyat, analisis ini menjadi penting untuk memastikan bahwa intervensi negara benar-benar mampu menciptakan dampak jangka panjang, bukan sekadar tambal sulam problem kemiskinan yang sudah berlangsung lintas generasi.
Ketika negara membangun sekolah untuk anak-anak miskin, ia tak sekadar membangun ruang kelas, tapi membangun harapan, keberanian, dan masa depan yang selama ini terkunci oleh kemiskinan. Pendidikan adalah kunci yang membebaskan.
Dalam tahap perencanaan, pendirian Sekolah Rakyat secara teoretis merupakan respons terhadap kegagalan sistemik pendidikan formal dalam menjangkau anak-anak dari keluarga miskin ekstrem yang terdata dalam DTSEN. Oleh karena itu, pendekatan berbasis data menjadi kunci. DTSEN bukan hanya alat administratif, tetapi juga instrumen analitik untuk memetakan kebutuhan riil dan mendesain intervensi yang tepat sasaran.
Namun, problem muncul ketika pengelolaan pendidikan yang mestinya berbasis pedagogi dan penguatan kapasitas akademik justru dikoordinasikan oleh Kemensos yang secara fungsional lebih kuat di ranah perlindungan sosial. Pro-kontra pun tak terhindarkan. Sebagian pihak menilai langkah ini sebagai bentuk pelebaran mandat yang kurang tepat sasaran. Sebagian lainnya melihatnya sebagai inovasi kebijakan yang berani demi menjangkau kelompok rentan yang selama ini tertinggal.
Penting disadari bahwa pengentasan kemiskinan adalah urusan multisektor. Oleh karena itu, pengelolaan Sekolah Rakyat idealnya tidak diserahkan secara sepihak kepada satu kementerian, melainkan dalam bentuk consortium policy governance. Di sinilah urgensi koordinasi antara Kemensos (operasional dan pembiayaan), Kemendikbudristek (kurikulum dan mutu pengajaran), serta Kemenaker (standar kompetensi vokasi) menjadi sangat strategis.
Dalam pelaksanaan, indikator keberhasilan kebijakan tidak hanya dinilai dari jumlah sekolah yang berdiri, tetapi juga dari output dan outcome jangka panjang. Apakah lulusan Sekolah Rakyat mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi vokasi? Apakah mereka siap kerja atau justru kembali masuk lingkaran kemiskinan baru? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab melalui indikator evaluatif yang berbasis bukti (evidence-based policy).
Secara normatif, kebijakan Sekolah Rakyat adalah bentuk affirmative action, yakni tindakan afirmatif negara untuk menciptakan keadilan substantif. Ini sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 serta komitmen Indonesia terhadap Pasal 13 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang menjamin hak atas pendidikan sebagai hak asasi manusia.
Namun demikian, kebijakan yang baik tidak cukup dengan niat baik. Dibutuhkan sistem pengawasan partisipatif untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi. Monitoring independen dari masyarakat sipil, akademisi, dan media menjadi penting agar program ini tidak terjebak dalam birokratisasi atau bahkan politisasi kebijakan.
Salah satu kekuatan tersembunyi dari Sekolah Rakyat terletak pada penguatan psikososial siswa. Ketika anak-anak miskin mendapatkan lingkungan yang mendukung, hidup dalam asrama yang layak, dan dibimbing oleh guru-guru yang terlatih, maka terbentuklah kepercayaan diri dan mentalitas unggul yang mampu mengubah nasib. Empowerment through education bukan jargon, tapi fakta transformasional yang bisa diwujudkan.