Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Bank Bobrok di Tangan Elite, Potret Suram Bank Pembangunan Daerah

12 April 2025   23:36 Diperbarui: 12 April 2025   23:04 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilusrasi skandal korusi iklan fiktif pada Bank Jabar (Sumber: repelita.com)

Pada malam takbiran 30 Maret 2025, publik Jakarta dikejutkan dengan ambruknya sistem layanan digital Bank DKI. Tidak hanya ATM yang lumpuh, tetapi seluruh kanal digital banking dari mobile, internet, hingga sistem backend perbankan, mengalami total failure. Krisis ini bukan sekadar glitch teknologi biasa, melainkan sinyal serius mengenai manajemen risiko dan tata kelola sistem informasi di bank milik pemerintah daerah.

Tak menunggu lama, Pramono Anung sebagai Gubernur DKI langsung mencopot Direktur IT Bank DKI, Amirul Wicaksono, dan memerintahkan audit independen menyeluruh. Ini bukan reaksi spontan, melainkan respons atas tragedi yang bisa berujung fatal jika dikaitkan dengan potensi sistemik kebangkrutan sektor BPD.

Bank DKI bukan satu-satunya yang tergelincir dalam jurang krisis. Bank Jabar (BJB) lebih dulu menjadi sasaran penyidikan KPK dengan penetapan 5 tersangka atas dugaan korupsi iklan fiktif yang merugikan negara sebesar Rp222 miliar. Bahkan, kasus ini mengaitkan nama mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Di Kalimantan Barat, mantan direktur utama Bank Kalbar menjadi buron dalam kasus pengadaan tanah senilai Rp27 miliar.

Fenomena ini membentangkan peta krisis reputasi, risiko likuiditas, hingga potensi kebangkrutan dalam spektrum yang lebih luas. Jika kita uji menggunakan alat analisis keuangan seperti metode Altman Z-Score, Springate, dan Zmijewski, ada indikasi bahwa beberapa BPD sudah memasuki zona merah secara sistemik.

Metode Altman Z-Score, yang mengukur probabilitas kebangkrutan berdasarkan lima rasio keuangan, mengindikasikan bahwa bank dengan Return on Asset rendah, leverage tinggi, dan pendapatan operasional menyusut dalam tiga tahun terakhir, rawan ambruk. Jika kita simulasikan pada kasus Bank BJB pasca-2023, rasio earnings before interest and taxes terhadap total aset setidaknya mengalami penurun tajam, sehingga mengindikasikan zona distress menurut Altman.

Sementara itu, metode Springate, yang merupakan penyederhanaan dari Altman, menyoroti empat indikator utama berupa profitabilitas, efisiensi operasional, likuiditas, dan leverage. Banyak BPD yang mengalami tekanan dari sisi profitabilitas dan leverage akibat kredit macet dari proyek pemerintah daerah yang tidak berjalan. Praktik moral hazard dan campur tangan elite politik lokal memperburuk struktur biaya operasional bank.

Adapun metode Zmijewski, yang menilai risiko default dari tiga komponen berupa ROA, leverage, dan likuiditas, menunjukkan tren memburuk pada bank yang terlalu banyak menyalurkan kredit berbasis titipan politik, terutama dalam proyek fiktif dan pengadaan yang sarat mark-up. Bank Kalbar menjadi contoh klasik bahwa pengadaan tanah yang seharusnya memberi kontribusi nilai ekonomi justru menjadi lubang hitam korupsi.

Permasalahan struktural dalam tata kelola BPD seringkali terletak pada governance dualisme. Di satu sisi harus melayani kepentingan komersial, namun di sisi lain tersandera oleh kepentingan politik lokal. Hal ini menyebabkan proses penyaluran kredit tidak berbasis prinsip kehati-hatian (prudential banking), melainkan pada kedekatan politik dan pesanan elite daerah.

Bank pembangunan daerah sejatinya memiliki potensi besar sebagai penggerak ekonomi lokal, yaitu melalui pembiayaan UMKM, pembangunan infrastruktur desa, hingga digitalisasi pasar tradisional. Namun, ketika fungsi ini dikorupsi oleh praktik nepotisme dan proyek fiktif, maka yang terjadi adalah financial disaster waiting to happen.

Penting diingat, krisis kepercayaan nasabah adalah yang paling sulit dipulihkan. Pada kasus Bank DKI, masyarakat urban digital yang sangat mengandalkan mobile banking langsung bereaksi keras. Dalam jangka pendek, tentu berpotensi akan ada bank run secara digital jika tidak ada pemulihan cepat dan transparansi informasi.

Bank Indonesia dan OJK harus segera memperketat pengawasan terhadap BPD, bukan hanya dari sisi kepatuhan (compliance), tapi juga audit risiko strategis yang berbasis real-time performance analytics. Audit eksternal dan forensik TI harus menjadi bagian dari early warning system, bukan hanya reaksi pascakejadian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun